Cari

HEART FOR CHRIST

Hidup Adalah Kristus

Kategori

Gereja

TUHAN MELARANG KESAKSIAN KESEMBUHAN (Eksposisi Matius 8: 1-4)

Dewasa ini banyak orang Kristen gemar bersaksi atas kesembuhan yang mereka alami, bahkan ada persekutuan-persekutuan doa, serta gereja-gereja tertentu yang mendorong orang untuk bersaksi untuk hal-hal jasmani-lahiriah, sehingga ruang kesaksian dalam persekutuan doa atau gereja demikian memiliki tempat yang istimewa dalam kebaktian mereka. Namun banyak dari mereka yang gemar bersaksi tidak pernah mencari tahu kebenaran di dalam Alkitab, sehingga mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka tersebut sebenarnya dilarang Tuhan. Mereka yang giat bersaksi atas kesembuhan jasmani adalah orang Kristen yang giat untuk Tuhan tanpa pengertian yang benar, sehingga mereka mendirikan kebenaran mereka sendiri, Lihat Roma 10: 1-3.

 

Dalam Matius 8: 1-4 menceritakan mengenai seseorang yang datang kepada Tuhan Yesus dengan penuh iman, bahwa Tuhan Yesus dapat menyembuhkannya dari penyakit Kusta. Atas keyakinannya pada Tuhan tersebut, Tuhan Yesus menyembuhkannya dari penyakit Kusta. Sesudah menyembuhkan orang tersebut, Tuhan Yesus melarangnya untuk bersaksi atas kesembuhan kepada siapapun, “Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka” (Matius 8: 4).

 

Dalam Matius 8: 2 orang yang sakit Kusta yang datang kepada Yesus adalah seseorang yang sangat yakin bahwa Yesus sanggup menyembuhkan, jika Yesus ingin menyembuhkannya. “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” itulah kalimat yang keluar dari mulut orang yang sakit kusta ketika memohon belas kasihan dari Tuhan Yesus, walaupun ia sangat ingin disembuhkan namun ia datang kepada Yesus dengan keyakinan jika Yesus mau maka ia sembuh dan sebaliknya jika Yesus tidak mau maka ia tidak sembuh, sebuah sikap hati yang berbeda dengan para pesaksi saat ini. Para persaksi kesembuhan saat ini justru memberi kesan pada para pendengar bahwa kalau sakit berdoa, pasti Tuhan Yesus sembuhkan. Ternyata tidak semua permohonan kesembuhan dari Tuhan, Tuhan jawab dengan kesembuhan seperti yang dialami Rasul Paulus dalam 2 Korintus 12: 7-9 dimana permohonannya pada Tuhan tidak dijawab sesuai dengan keinginannya.

 

Orang kristen yang sakit seringkali jadi bulan-bulanan Iblis, saat penyakitnya tidak sembuh maka iblis melalui para pendoa yang tidak mengenal kebenaran menawarkan berbagai cara seperti berdoa dikuburan, memperbaiki kuburan, siram rampe, bakar lilin atau meneteskan darah ayam pada tempat tertentu untuk disembuhkan. Mungkin saja orang tersebut sembuh sesudah adakan ritual demikian, namun tidak benar-benar total sembuh karena sewaktu-waktu penyakit tersebut datang kembali menyerang dan biasanya hal tersebut terjadi berulang-ulang sampai si penderita meninggal dunia. Walaupun banyak yang meninggal namun masih banyak juga orang Kristen yang terkecoh dengan cara Iblis yang disusupkan melalui para pendoa yang tidak cinta kebenaran. Kita harus sadar bahwa tidak semua doa kita dijawab sesuai dengan keinginan kita. Sikap orang yang sakit kusta dalam Matius 8: 2 membuktikan bahwa ia sangat yakin Tuhan sanggup sembuhkannya jika Tuhan mau namun jika tidak maka ia tidak sembuh, sikap yang demikianlah yang harus dimiliki orang sakit, yang berharap kesembuhan dari Tuhan. Sehingga jika tidak disembuhkanpun ia tidak akan kecewa pada Tuhan.

 

Dalam Matius 8: 3 Tuhan Yesus menjawab permohonan orang yang sakit kusta tersebut dengan menyembuhkannya sesuai dengan keyakinannya jika Tuhan Yesus mau maka ia sembuh dan Tuhan mau ia sembuh dan ia pun sembuh. Tuhan menyembuhkan orang yang sakit kusta tersebut atas dasar keyakinannya bahwa apapun yang terjadi sesudah permohonannya merupakan keinginan Tuhan, ia sembuh atau tidak sembuh semua berdasarkan keinginan Tuhan, ia percaya pada kedaulatan Tuhan. Seringkali orang yang sakit kecewa dengan Tuhan sebab walaupun sudah berdoa penyakitnya tidak disembuhkan, ia kecewa bahkan ada yang akhirnya meninggalkan Tuhan. Orang Kristen yang kecewa dengan Tuhan karena doanya tidak dijawab sesuai dengan keinginannya adalah orang kristen yang tidak mengerti kebenaran dan yang tidak percaya pada kedaulatan Allah, dan doa orang Kristen yang demikian seringkali tidak dijawab Tuhan sebab doanya hanya untuk memuaskan keinginannya bukan keinginan Tuhan (Yakobus 4: 3). Tuhan Yesus menjawab permohonan orang yang sakit kusta tersebut oleh sebab orang tersebut percaya pada kedaulatanNya, percaya bahwa segala sesuatu ada dalam kendali Tuhan, dan membuktikan bahwa orang tersebut percaya bahwa Yesus adalah Allah. Itu sebabnya bila ada yang sakit, saya sering doakan bila Tuhan mau maka sembuh dan berharap Tuhan sembuhkan namun bila Tuhan tidak sembuhkan pun saya jelaskan bahwa itu pun berdasarkan maunya Tuhan, Tuhan kita adalah Tuhan yang berdaulat. Jadi lucu kalau ada pendeta atau pendoa yang selalu membesar-besarkan diri atau klaim bahwa siapapun yang minta didoakan padanya pasti sembuh dari penyakit. Ingat, jika Tuhan mau, bukan maunya kita.

 

Matius 8: 4 adalah bagian yang sangat menarik, sebab bagian ini adalah bagian sangat bertentangan dengan kelakuan beberapa pemimpin peresekutuan atau pendeta yang suka mendorong orang-orang yang mengalami kesembuhan karena doa atau pelayannya untuk bersaksi atas kesembuahannya. Tuhan Yesus melarang orang yang disembuhkan dari penyakit kusta olehNya memberi kesaksian kesembuhannya pada siapapun, “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun,….” Larangan Tuhan Yesus tersebut ada dasar tujuan kedatanganNya. Tujuan utama Tuhan Yesus datang bukan untuk menyembuhkan penyakit jasmani melainkan penyakit rohani yaitu dosa, sehingga yang Tuhan inginkan bukan kesaksian kesembuhan jasmani melainkan kesaksian kesembuhan rohani yaitu kesaksian keselamatan atau lahir baru. Kesaksian kesembuhan jasmani hanya akan mendorong orang-orang datang pada Yesus untuk memenuhi tuntutan jasmani-lahiriah bukan untuk hal rohani.

 

Orang yang mengaku dirinya hamba Tuhan yang suka bersaksi atas kesembuhan atau yang suka mendorong orang bersaksi atas kesembuhan adalah orang yang tidak mengerti kebenaran, yang hanya akan menjerumuskan iman orang lain kepada pengertian yang salah akan firman Tuhan. Tuhan melarang untuk kesaksian kesembuhan karena Tuhan tidak ingin orang mengikut Dia oleh sebab hal-hal yang bersifat duniawi. Justru melalui kesaksian-kesaksian kesembuhan banyak orang Kristen menjadi pengikut Yesus yang tidak jelas atau tidak mengerti kebenaran. Iman mereka bukan dibangun atas dasar Firman Kristus (Roma 10: 17) melainkan atas dasar pengalaman, perasaan dan kesaksian-kesaksian yang tidak menfokuskan keinginan orang untuk belajar kebenaran (Yohanes 8: 31-32).

 

Untuk Anda yang ingin belajar kebenaran, silahkan hadiri PA dan Kebaktian Kami:
GBIA AGAPHE, KUPANG
Kebaktian Umum, Minggu Jam 17 00 -19 00 Witeng
Sesudah kebaktian ada tanya-jawab Alkitab
Di Hotel Cendana, Lantai 2 (Aula Kecil)
Jln. Eltari I, Kupang-NTT
Hp. 0821 24198797

APAKAH DENGAN DIBAPTIS ANDA MENERIMA METERAI ALLAH?

imagesMeterai merupakan suatu penjamin kepemilikan atau tanda kepemilikan. Orang Kristen yang mengimani bahwa baptisan merupakan tanda meterai adalah orang Kristen yang mengimani bahwa baptisan menyelamatkan atau selamat oleh perbuatan (salvation by Work). Orang Katolik adalah kelompok pertama yang mengimani baptisan adalah tanda meterai, sebab dalam pandangan iman katolik semua bayi yang lahir terikat dosa asal dari Adam dan untuk membersihkan dosanya maka diperlukan baptisan sebagai pembasuh dosa untuk menuju jalan keselamatan. Sedangkan kelompok yang kedua yang mengimani baptisan sebagai tanda meterai adalah kelompok pecahan dari Katolik yakni Protestan, sebagai besar kalangan Protestan mengimani bahwa baptisan merupakan tanda meterai penganti sunat, walaupun kelompok ini mengumandangkan bahwa keselamatan hanya oleh kasih karunia namun dalam prakteknya mereka masih menerima sebagian besar iman Katolik seperti baptisan sebagai tanda meterai.

 

 
PANDANGAN ALKITAB

 

 
Di dalam Dia kamu juga–karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu–di dalam Dia kamu juga, KETIKA KAMU PERCAYA, DIMETERAIKAN dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Efesus 1: 13

 
Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita. 2 Korintus 1: 21-22

 
Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Efesus 4: 30

 
Penjelasan Alkitab mengenai siapa pemberi meterai Allah, Siapa penerima meterai Allah, Bagaimana cara menerima meterai Allah dijelaskan secara tepat dan akurat. Alkitab adalah sumber kebenaran absolut, yang pasti, yang tidak boleh ditambah atau pun dikurangi. Iman Kristen yang sehat dibangun di atas pengajaran Alkitab, bukan kesaksian-kesaksian subyektif ataupun aturan-aturan manusia. Orang yang berhikmat dan sehat dalam iman akan mengunakan Alkitab sebagai alat penguji kebenaran atas segala ajaran yang akan diimaninya, oleh sebab itu mari kita uji kebenaran mengenai baptisan tanda meterai, apakah ini adalah iman yang benar atau iman yang salah.

 
Seseorang menerima meterai Allah melalui proses upacara baptisan yang diimani oleh sebagian besar orang Kristen ternyata tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Efesus 1: 13 menyatakan bahwa meterai bukan diberikan melalui proses upacara baptisan melainkan proses seseorang menerima Injil Kristus “…karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu–di dalam Dia kamu juga, KETIKA KAMU PERCAYA, DIMETERAIKAN.” Menerima Injil Kristus dengan segenap hati, jiwa , akal budi dan kekuatan merupakan proses seseorang mengalami pemeteraian atau yang di dalam Roma 4: 11 menerima meterai kebenaran, yang bukan berdasarkan pada sunat lahiriah melainkan pada sunat hati.

 
Orang Kristen yang mengimani bahwa baptisan adalah penganti sunat adalah orang Kristen yang tidak memahami mengenai perkembangan pewahyuan sistem tata ibadah. Di masa ibadah dalam Roh dan kebenaran tidak ada upacara lahiriah yang mendatangkan janji keselamatan, termasuk baptisan. Pada masa ibadah simbolik Allah mengunakan simbol-simbol lahiriah untuk menyatakan kekudusan dan kebenaranNya. Simbol-simbol lahiriah, termasuk segala macam upacara lahiriah tidak digunakan Allah lagi untuk menyatakan kekudusan dan kebenaran di masa ibadah dalam Roh dan kebenaran, karena di masa ibadah dalam Roh dan kebenaran yang diutamakan adalah hati yang telah dikuduskan dan dibenarkan oleh Yesus Kristus (1 Korintus 1: 30, Kolose 2: 16-17).

 
Dalam 2 Korintus 1: 21-22 Allah sendirilah yang memberikan meterai kepada orang-orang kepunyaanNya, “…Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita.” Dalam memberikan meterai, Allah tidak mengunakan perantaran melalui proses baptisan yang diimani oleh sebagian orang Kristen, orang yang mengimani bahwa penerimaan meterai Allah melalui baptisan adalah orang yang mengimani iman yang salah, sebab Alkitab menjelaskan bahwa pada masa ibadah dalam Roh dan kebenaran Allah sendirilah yang memberikan meterai tanpa melalui perantara apapun dan siapapun.

 
Dalam Efesus 1: 13 orang yang menerima meterai dari Allah adalah orang yang telah menerima Injil keselamatan, “Di dalam Dia kamu juga–karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu–di dalam Dia kamu juga, KETIKA KAMU PERCAYA, DIMETERAIKAN dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” Artinya mereka yang menerima meterai dari Allah adalah mereka yang sudah percaya. Membaptis bayi dengan tujuan mendapatkan meterai Allah adalah sebuah tindakan iman yang salah, yang dihasilkan dari sebuah kesalahtafsiran Alkitab oleh beberapa pemimpin gereja atau organisasi gereja. Oleh sebab itu, adalah lebih baik menguji setiap ajaran sebelum mengimaninya sebagai sebuah kebenaran dalam hidup ( 1 Tesalonika 5: 21).

 
Orang tua yang berpikir bahwa dengan membaptis bayi maka akan mendapat meterai Allah adalah orang tua yang sudah terpengaruh oleh ajaran yang tidak Alkitabiah atau orang tua yang melakukannya karena sebuah tradisi bukan karena mencintai Tuhan. Tindakan demikian menyakitkan hati Allah, seperti ungkapan Tuhan Yesus dalam Markus 7: 6-8, “…Benarlah nubuat Yesaya tentang kami, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku, percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”

 
Dapatkah kita mengatakan bahwa bayi yang dibaptis telah dimeteraikan Allah kalau pada akhirnya dia dewasa hingga meninggal tidak pernah menerima Kerajaaan Allah dan kebenaranNya di dalam hidupnya kemudian mati masuk Neraka, adakah milik kepunyaan Allah, yang telah dimeteraikan Allah berada dalam Neraka? Orang yang berhikmat dan berpikiran sehat pastilah bisa memikirkan hal ini dan tidak akan melakukan tindakan iman yang salah. Dalam Efesus 4: 30 menjelaskan bahwa Allah memberikan meterai pada seseorang pada waktu hari penyelamatannya atau pada waktu ia menerima firman kebenaran yaitu injil dalam hidupnya, pada waktu itulah ia diberikan meterai sebagai milik Allah atau mendapat jaminan kepastian masuk Surga. Renungkan dan pikirkanlah kebenaran ini, kawanku 

 

 

Bagi Anda yang ingin belajar kebenaran dan butuh bimbingan silahkan hubungi nomor ini 0821 2419 8797

BAPTISAN TIDAK MENYELAMATKAN, NAMUN ORANG PERCAYA YESUS YANG TIDAK DIBAPTIS ADALAH ORANG YANG KEPERCAYAANYA SAMA SEPERTI SETAN-SETAN

Kaum baptis Independen menyakini bahwa baptis tidak menyelamatkan, namun kaum baptis adalah kelompok yang ingin melakukan kehendak Tuhan setepat-tepatnya sebagai bukti percaya Yesus dan tunduk pada kebenaran. Kaum baptis independen adalah kelompok yang menjunjung tinggi Alkitab sebagai kebenaran absolute dan merupakan kelompok yang menjaga praktek kebenaran yang sejati, sebagaimana mempertahankan prinsip baptisan yang benar sebagai prinsip kemurniaan iman yang Alkitabiah.

Setan Pun Percaya Allah

Menurut kalangan Calvinist seseorang tidak dapat percaya apabila tidak dikaruniakan percaya oleh Tuhan, jika demikian siapa yang mengaruniakan Setan percaya Allah? Seperti yang dituliskan dalam Yakobus 2: 19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Jika berpatokan pada ajaran Calvinist maka Allah juga yang mengaruniakan setan untuk percaya dan Allah jugalah yang mengaruniakan manusia untuk menyembah berhala. Jelas sekali ajaran yang demikian sangat tidak Alkitabiah, karena iman timbul dari respon manusia terhadap sesuatu, di dalam Alkitab iman biasanya menyatakan tanggung jawab manusia pada Allah atas segala sesuatu yang ilahi (Ibrani 11:1, Roma 10: 17, Galatia 2: 20). Itulah sebabnya baik setan, penyembah berhala maupun orang jahat bertindak atas tanggung jawab pribadi bukan karena dikaruniakan Allah seperti konsep Calvinist.
Di dalam Alkitab tercatat bahwa setan-setan percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang maha tinggi (Lukas 8: 27-28), sebagaimana yang dituliskan Yakobus 2: 19. Kepercayaan setan terhadap Yesus adalah kepercayaan yang pura-pura, sebab walaupun mereka percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah namun mereka tetap melawan Yesus dan pengikut-pengikut Yesus. Setan-setan tidak pernah patuh atau tunduk pada kebenaran, mereka melawan kebenaran, memutarbalikkan kebenaran demi tujuan menyesatkan manusia sebanyak mungkin ke Neraka.

Orang Kristen Yang Tidak Dibaptis dan Menyimpangkan Baptisan Yang Benar Sama Seperti Setan-setan Percaya Yesus

Karena baptisan tidak menyelamatkan maka sebagian orang Kristen dan organisasi gereja yang tidak tunduk pada kebenaran menganggap sepeleh masalah baptisan. Kebanyakan argumentasi yang ditemukan dari kelompok demikian ialah “mau dibaptis atau tidak dibaptis, mau percik atau selam tidak penting yang penting ialah percaya Yesus.” Argumentasi dan pernyataan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa kepercayaan terhadap Yesus adalah kepercayaan yang semu atau munafik atau seperti yang dikatakan Yakobus iman yang mati (Yakobus 2: 17). Jelas baptisan adalah upacara yang sangat penting, sehingga Tuhan Yesus sendiri memberi diri dibaptis dan memerintahkan untuk membaptis (Matius 28: 19-20), bahkan Rasul Paulus harus membaptis ulang orang yang dibaptis Yohanes Pembaptis tanpa memenuhi syarat baptisan yang benar (Kisah Para Rasul 19: 1-5).
Baptisan adalah upacara simbolik dalam masa ibadah hakekat yang sangat penting, yang diperintahkan Tuhan kepada jemaat local sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran untuk melakukannya (1 Timotius 3: 15). Di mana ada pendirian jemaat local yang Alkitabiah maka baptisan pasti yang benar pasti dilaksanakan dan dilestarikan, sebab baptisan adalah gambaran Injil yang harus dijaga dan dipelihara jemaat dari generasi ke generasi.
Yohanes pembaptis yang mendirikan jemaat membaptis, rasul-rasul yang meneruskan pekerjaan pendirian jemaat juga membaptis, bahkan tidak ada tempat dimana jemaat local berdiri tanpa ada baptisan. Saking pentingnya baptisan sehingga seringkali dihubungkan dengan pengampunan dosa (Markus 16: 16, Kisah Para Rasul 2: 38).
Saya adalah orang yang sangat menentang baptisan dapat menyelamatkan. Baptisan tidak menyelamatkan, namun orang yang sudah diselamatkan wajib memberi diri dibaptis sebagai bukti nyata di hadapan jemaat bahwa orang yang demikian mengakui pengorbanan Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan mau menyerahkan diri dipimpin dalam persekutuan jemaat yang benar (menjadi anggota jemaat yang Alkitabiah), sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan dan ikut memelihara dan melestarikan Injil dari generasi ke generasi.
Orang yang sudah diselamatkan, namun dengan berbagai alasan tidak mau memberi dibaptis dengan benar maka orang yang demikian adalah orang kepercayaannya sama seperti setan-setan. Mengetahui kebenaran namun tidak melakukannya, bahkan melawannya dengan berbagai alasan adalah tindakan yang sama dengan perbuatan setan-setan. Orang demikian diragukan patut diragukan iman keselamatannya atau orang memiliki iman yang mati (Yakobus 2: 17).
Kasus Penjahat Yang Disalib Bersama Yesus Kristus
Kasus penjahat di sisi Yesus yang mendapat jaminan tempat di Firdaus atas pengakuannya terhadap Yesus Kristus (Lukas 23: 39-43) seringkali digunakan alasan utama dari orang-orang yang menyepelekan dan mengabaikan makna baptisan yang benar. Memang baptisan tidak menyelamatkan, penjahat di sisi Yesus yang mengakui Yesus Kristus mendapat jaminan di Firdaus tanpa dibaptis, namun posisi penjahat di sisi Yesus sangat berbeda dengan mereka yang memiliki kesempatan hidup. Penjahat di sisi Yesus tersebut tidak memiliki kesempatan untuk hidup, jadi ia tidak punya tuntutan selanjutnya sesudah percaya yakni mejadi murid dan mempelajari kebenaran (1 Timotius 2: 3-4) atau tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam jemaat local.
Orang yang percaya Yesus namun tidak memiliki kesempatan untuk hidup, orang yang demikian pasti selamat. Itulah sebabnya bila seseorang sedang sekarat yang mendengar Injil lalu bertobat tidak perlu dibaptis, karena baptisan dilaksanakan dalam kumpulan orang-orang percaya bukan atas nama pendeta atau nama tertentu. Namun apabila seseorang yang percaya memiliki kesempatan untuk hidup, maka sudah sewajibnya orang yang demikian menyerahkan diri dibaptis untuk menjadi murid dan siap dimuridkan di dalam jemaat local. Orang percaya yang punya kesempatan namun tidak mau dibaptis dengan benar dengan berbagai alasan maka orang demikian sebenarnya belum diselamatkan atau belum percaya, sebab kepercayaan orang yang demikian sama dengan setan-setan.
Tradisi Gereja Yang salah Menghasilkan Orang Kristen Tanpa Pertobatan
Tradisi pembaptisan bayi dan pembaptisan percik adalah tradisi gereja yang menghasilkan orang Kristen tanpa pertobatan, sebagai anak yang tumbuh dari tradisi gereja yang demikian, saya dapat bersaksi bahwa tradisi demikian menghasilkan orang Kristen tanpa pertobatan dan tanpa pengertian. Menjalankan iman hanya sebagai formalitas keagamaan dan tuntutan social, bukan karena mengerti atau percaya sungguh-sungguh pada Yesus Kristus.
Gereja tidak menyelamatkan, namun gereja memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan anggotanya, gereja yang ajaran tidak Alkitabiah akan menghasilkan anggota yang hidup tanpa pengertian, hidup tanpa pertobatan. Semua tata cara penyembahan dalam gereja yang tidak Alkitabiah adalah penyembahan yang sia-sia (Markus 7: 6-8, Kolose 2: 23). Oleh sebab itulah seseorang yang tetap mempertahankan keanggotaannya dalam sebuah gereja yang salah bukan karena kebenaran adalah orang yang bodoh (Matius 7: 24-27, Efesus 5: 17).
Tuhan Yesus dalam Matius 16: 18 menyatakan bahwa akan membangun (dalam bahasa Indonesia mendirikan bukan membangun, namun dalam bahasa aslinya, Yunani dan inggris membangun. Karena gereja didirikan sejak Yohanes tampil, sedangkan para Rasullah yang membangun di atas dasar Yohanes pembaptis) jemaatNya di atas dasar para Rasul (Efesus 2: 20). Dari pernyataan Tuhan Yesus tersebutlah sudah dapat diklasifikasi bahwa ada jemaat milik Kristus yang ajarannya terpusat pada firman Tuhan atau jemaat Alkitabiah dan ada jemaat yang bukan milik Kristus yang ajarannya terpusat pada ajaran manusia oleh tipu muslihat Setan. Hal ini diperjelas oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan lalang dan gandum (Matius 13: 24-30), orang yang menabur benih gandum adalah Tuhan Yesus sendiri yang menambur benih gereja yang benar, sedangkan musuh yang menabur benih lalang adalah setan yang menabur benih ajaran gereja yang sesat, gereja yang mengutamakan tradisi dan aturan manusia daripada firman Tuhan (Markus 7: 8). Namun gandum akan masuk lumbung menjadi milik kepunyaan tuannya sedangkan lalang akan dibuang ke dalam api untuk dibinasakan, itulah sebabnya gereja yang benar akan tumbuh bersama-sama dengan gereja yang tidak benar, namun gereja yang benar akan bertumbuh sehat dihadapan manusia dan Tuhan, sedangkan gereja yang tidak benar akan mengalami pertumbuhan yang sia-siatanpa hasil atau menghasilkan orang Kristen tanpa pertobatan.
Salah satu alasan baptisan menjadi upacara yang sangat penting dalam jemaat karena melalui baptisanlah seseorang menyatakan komitmennya kepada komunitas bahwa ia sungguh-sungguh mengakui pengorbanan Yesus Kristus dan mau turut menjadi saksi Kristus bersama komunitas jemaat yang Alkitabiah kepada dunia (1 Korintus 12: 13). Sehingga kehidupan iman orang yang sudah dibaptisan adalah kehidupan yang bertumbuh, yang menghasilkan hidup dalam pimpinan Roh bukan hidup dalam daging (Galatia 5: 19-22). Melalui jemaat yang Alkitabiahlah kebenaran Tuhan dijaga untuk membangun kehidupan yang berkenan kepada Tuhan dan memelihara kebenaran Tuhan untuk generasi yang akan dating (1 Timotius 3: 15).
Tradisi gereja yang salah menghasilkan orang Kristen tanpa pertobatan dan hanya mempermudah cara iblis membinasakan manusia melalui ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Semakin seseorang berpikir dan merasa rohani namun belum mengetahui kebenaran maka semakin sulit jugalah orang tersebut memperoleh kebenaran, dan hal inilah yang diharapkan iblis. Perbuatan baik, amal, ibadah yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak akan menyelamatkan manusia, hanya Kristus dan kebenaranlah yang dapat menyelamatkan dan memerdeka seseorang dari segala macam perhambaan setan dan manusia (Yohanes 8: 31-32).
Pentingnya Gereja Yang Alkitabiah
Sebelum naik ke Surga Tuhan Yesus hanya menyatakan bahwa jemaat milikNya adalah institusi rohani yang ada di dunia, Tuhan Yesus tidak pernah menyatakan bahwa yayasan, panti asuhan, sekolah theologia atau ada institusi lain milikNya. Oleh sebab itulah orang-orang melayani Tuhan, yang bukan utusan jemaat adalah hamba-hamba Tuhan yang tidak mengerti kebenaran dan membuat kebenaran sendiri, yang bila berhasil mendirikan jemaat maka jemaat yang dibangunnya tersebut dapat mejadi cikal-bakal gereja lalang.
Di dalam Alkitab Rasul-rasul dan orang-orang yang pergi memberitakan Injil atau dengan tujuan membangun jemaat harus melalui pengutusan jemaat local. Rasul-rasul dan orang-orang percaya yang pertama memberitakan Injil merupakan utusan jemaat Yerusalem, itulah sebabnya Paulus dan Barnabas pun menerima pengutusan dari jemaat Antiokhia (Kisah Para Rasul 13: 1-3). Satu-satunya institusi rohani yang diberikan otoritas oleh Tuhan Yesus untuk melakukan pengutusan adalah jemaat local karena jemaat local adalah tubuh Kristus dan tubuh Kristus harus kudus.
Saya Ev. Dance S Suat diutus oleh otoritas jemaat local Graphe untuk memberitakan Injil dan membangun jemaat yang Alkitabiah, keprihatinan terhadap iman Kristen di NTT mendorong saya untuk membangun jemaat yang Alkitabiah di NTT. Hanya melalui jemaat yang Alkitabiahlah dapat dihasilkan orang Kristen yang sungguh-sungguh hidup dalam kebenaran, karena selain keteladan iman dari seorang pemimpin, orang Kristen yang hidup dalam kebenaran mengakui firman Tuhan sebagai otoritas tertinggi dalam hidupnya. Semoga Allah sumber segala pengharapan dapat mempertemukan dengan orang-orang yang cinta kebenaran di tanah timor.
Orang-orang yang sudah menyadari akan kesalahan iman yang tidak Alkitabiah, sudah sepatutnya menyerahkan diri dibaptis bergabung dalam jemaat Alkitabiah untuk turut menjadi teladan dan saksi Kristus dan turut dalam peregenarasian kebenaran kepada generasi yang akan dating. Sebaliknya orang-orang yang tidak berani berkomitmen dan membuat keputusan adalah orang-orang yang kepercayaannya sama dengan kepercayaan setan.
Hanya melalui gereja yang Alkitabiah dapat dihasilkan orang Kristen yang sejati dan hanya melalui gereja yang Alkitabiahlah kebenaran dapat dijaga dan dipertahankan sampai hari kedatangan Tuhan, berbahagialah orang-orang setia sampai mati karena mempertahankan kebenaran dan celakalah mereka yang memanipulasi dan memutarbalikkan kebenaran demi kepetingan perut, materi dan duniawi. Amin!!!

“SEBAB ITU JANGANLAH KAMU BODOH,
TETAPI USAHAKANLAH SUPAYA KAMU MENGERTI KEHENDAK TUHAN.” EFESUS 5: 17

BAPTISAN YANG BENAR

Banyak penyimpangan di dalam ajaran Kristen, namun kita harus bersyukur karena Tuhan tetap memelihara firmanNya sehingga melalui firman Tuhanlah dapat dibedakan manakah ajaran Tuhan Yesus dan manakah ajaramn manusia atau ajaran denominasi gereja. Dalam kesempatan ini saya akan mengupas ajaran Alkitab mengenai baptisan.
Baptisan Yang Benar Adalah Baptisan Orang Percaya
Banyak ajaran mengenai baptisan disimpangkan oleh pengajar-pengajar sesat dan organisasi yang sesat seperti membaptis bayi, membaptis orang sakit untuk kesembuhan, membaptis untuk keselamatan, membaptis untuk mengusir setan atau membaptis untuk mendapat khasiat-khasiat supranatural dan lain-lain.
Matius 3: 11 menerangkan kepada kita bahwa baptisan air ialah tanda pertobatan, itulah sebabnya saat Sida-sida Etiopia menanyakan kepada Filipus syarat dibaptis, Filipus menjawab syaratnya ialah percaya (Kisah Para Rasul 8: 36-38), karena baptisan merupakan gambaran Injil yakni kematian, penguburan dan kebangkitan Kristus (Roma 6: 1-5). Baptisan merupakan penghayatan terhadap kematian, penguburan dan kebangkitan Yesus Kristus, itulah sebabnya Yesus Kristus sendiri dibaptis untuk membuktikan ketaatanNya akan janji karya penyelamatan Allah kepada manusia melalui diriNya sendiri (Yohanes 1: 29; Matius 3: 15).
Orang-orang yang dibaptis sejak bayi atau dibaptis karena ikut-ikutan atau karena membutuhkan surat baptis untuk urusan-urusan birokrasi atau orang-orang yang dibaptis sebelum benar-benar mengerti kebenaran atau dilahirkan kembali sama dengan belum dibaptis karena semua baptisan yang bukan baptisan orang yang sudah percaya belum dilakukan sesuai dengan keinginan Tuhan.
Baptisan Yang Benar Adalah Selam bukan Percik atau Kibar Bendera
Praktek baptisan percik dan kibar bendera sudah dilakukan sangat lama dalam gereja, yang tanpa disadari banyak orang bahwa cara baptisan demikian melawan perintah Tuhan, hal inilah yang dimaksud Paulus bahwa giat untuk Tuhan namun belum diselamatkan, sehingga mendirikan kebenaran sendiri (Roma 10: 1-3). Walaupun tata cara baptisan percik dan baptisan kibar bendera dalam gereja nampaknya penuh hikmat buatan manusia namun tidak ada gunanya selain memuaskan hidup duniawi (Kolose 2: 23), ajaran demikian ajaran manusia yang hanya memuliakan Tuhan di mulut tetapi hatinya jauh dari Tuhan karena lebih mengutamakan adat istiadat dan tradisi gereja daripada melakukan ajaran Tuhan (Markus 7: 6-8), inilah perbuatan orang munafik.
Baptis berasal dari bahasa yunani baptiso yang artinya selam, sedangkan bahasa yunani percik ialah rantiso. Marthen Luther, Jhon Calvin dan Theodera Beza mengakui bahwa baptis yang sesungguhnya ialah selam. Dari keterangan asal kata baptis dapat disimpulkan bahwa membaptis ialah memasukkan ke dalam air. Orang-orang yang sudah dipercik dengan air sudah dirantis namun belum dibaptis.
Selam sangat sesuai dengan gambaran penghayat dan pengakuan terhadap Injil yakni mengakui kematian, penguburan dan kebangkitan Yesus Kristus, sedang percik tidak mengambarkan apapun hanyalah upacara formalitas buatan manusia. Baptisan adalah upacara lahiriah yang dilaksanakan jemaat local dalam masa ibadah dalam Roh dan Kebenaran sebagai symbol pengakuan iman terbuka di dalam perkumpulan orang-orang yang telah diselamatkan. Itulah sebabnya untuk mereka yang sudah dirantis tetap harus diharuskan untuk dibaptis, karena memang belum dibaptis, melainkan dirantis.

Baptisan Yang Benar Harus Dilakukan Dalam Persekutuan Orang Lahir baru atau Jemaat Yang Alkitabiah
Upacara baptisan adalah upacara yang diperintahkan Tuhan kepada jemaat Kristus bukan kepada perorangan Rasul apalagi pendeta. Perintah amanat Agung tersebut ditujukan kepada jemaat local, selama ada jemaat local dimanapun jemaat local berdiri amanat agung Tuhan Yesus tersebut berlaku, jadi upacara baptisan adalah upacara yang dilaksanakan jemaat local. Oleh sebab itu, seseorang yang dibaptis harus mengetahui atas wewenang jemaat local manakah ia dibaptis. Yang membaptiskan adalah jemaat local sedangkan gembala, penginjil, Injil dan diaken hanya pelaksana yang ditunjuk oleh jemaat.
Karena baptisan bukan upacara perorangan melainkan upacara yang dilakukan atas nama jemaat local, maka ajaran jemaat yang membaptis sangat mempengaruhi makna baptisan tersebut. Gereja yang tidak Alkitabiah akan melaksanakan prinsip baptisan dengan nilai-nilai yang tidak Alkitabiah sehingga menghasilkan baptisan dengan makna dan prinsip yang salah sebagaimana ajaran gereja yang tidak Alkitabiah.
Hanya gereja yang ajarannya Alkitabiah yang dapat melakukan baptisan Alkitabiah. Orang yang menyadari ketidakAlkitabiahan gerejanya dan meminta baptis ulang adalah orang yang memiliki tekad yang baik untuk mematuhi kehendak Tuhan setepat-tepatnya. Sekali lagi lebih baik melakukannya dengan benar daripada belum pernah melakukannya dengan benar.

BAPTIS ULANG
Banyak orang yang tidak pernah membaca Alkitab alergi dengan istilah baptis ulang. Di dalam Kisah Para Rasul 19: 1-7 terjadi kronologi pembaptisan ulang; orang-orang yang telah dibaptis oleh Yohanes pembaptis namun belum bertobat maka saat bertemu dengan Rasul Paulus mereka dibaptis ulang karena baptisan mereka yang pertama tidak memenuhi syarat-syarat yang benar. Itulah sebabnya orang yang menuduh baptis ulang sesat sama dengan menuduh Alkitab salah dan Rasul Paulus sesat.
Dari tindakan Paulus tersebut bahwa adalah hal yang sangat bijaksana dan berkenan di mata Tuhan bila orang yang belum memenuhi syarat-syarat dibaptis dengan benar dinasehati untuk member diri dibaptis dengan benar, dan orang yang member nasehat demikian adalah orang yang telah berada dalam jemaat yang Alkitabiah.
PERJALANAN IMAN SAYA
Saya diberi diri dibaptis oleh orang tua sejak kecil (jelas tindakan ini tidak Alkitabiah karena Alkitab mengajarkan bahwa orang yang dibaptis adalah orang yang member diri sendiri atas imannya kepada Yesus Kristus, Kisah Para Rasul 2: 41) dan sejak kecil saya sudah memegang teguh tradisi gereja protestan. Bukanlah hal yang baik bila memperbicangkan atau memperbadingkan ajaran satu dengan yang lain itulah pemikiran saya sebelum mengenal kebenaran.
Perjalanan imam saya terguncang saat awal-awal diperhadapkan dengan kebenaran, karena ada begitu banyak hal yang saya yakini benar namun setelah dikaji secara Alkitabiah tidak Alkitabiah sehingga membuat saya terguncang dan hidup dalam pergumulan terutama mengenai baptisan, karena bagi saya baptis ulang adalah hal yang tidak benar.
Namun atas pertolongan Tuhan dalam sebuah acara seminar DR. Suhento Liauw memaparkan kebenaran mengenai baptisan dan menyinggung masalah baptis ulang serta menunjukkan ayat yang menjelaskan mengenai baptis ulang, maka tanpa keraguan saya pun menyerahkan diri untuk dibaptis ulang dalam persekutuan jemaat yang Alkitabiah.
Suatu kerinduan saya yang terbesar ialah menyelamatkan dan memberitahukan kebenaran kepada sanak-saudara, sahabat dan semua orang yang dapat dijangkau, saya pun sangat berharap bahwa banyak orang di NTT dapat mengerti kebenaran dan membentuk jemaat yang Alkitabiah. Mari suadara kita melakukan kehendak Tuhan setepat-tepatnya dan dengan benar!

RINGKASAN TULISAN DR. STEVEN E LIAUW MENGENAI BAPTISAN (Semoga Tulisan Ini menolong Saudara untuk menemukan kebenaran)

Ajaran Baptis dari dulu adalah bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Tetapi kaum Baptis serius menanggapi perintah Tuhan untuk membaptiskan! Bukan memercikkan atau menuangkan, atau mengibarkan bendera atas, atau mengelap badannya, atau yang lainnya! Dr. Suhento Liauw telah membuat jelas di awal bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Lalu dia membandingkan baptisan percik dengan Kain yang mengubah binatang menjadi tanaman. Oleh Budi Asali ini dilihat sebagai pertentangan, karena Kain tidak selamat.
Untuk membuktikan makna baptizo sebenarnya tidak terlalu sulit bagi mereka yang terbuka pikirannya, bukan sekedar mempertahankan praktek gerejanya. Baiklah, saya akan kutipkan saja dari lexicon (kamus). Kita mulai dengan lexicon Liddell and Scott. Mengapa Liddell and Scott? Karena Liddell and Scott adalah lexicon Yunani klasik. Artinya, tidak seperti banyak lexicon lain yang bersifat religius (dan oleh karena itu berpotensi terdapat bias karena sebagian ditulis oleh pendukung ‘pemercikan’), Liddell and Scott (disingkat LS), terutama mengkaji arti kata Yunani secara sekuler. Memang PB mereka masukkan juga dalam pertimbangan, tetapi mereka melihat secara luas ke tulisan-tulisan Yunani klasik. Lexicon ini memberitahu kita apa arti baptizo bagi orang di jalanan Yunani pada zaman Yesus.
Dalam Bibleworks, LS memberikan definisi berikut:
“βαπτίζω, f. Att. ιῶ, to dip in or under water; metaph., βεβαπτισμένοι soaked in wine, Plat.; ὀφλήμασι βεβ.
over head and ears in debt, Plut. 2. to baptize, τινά N.T.:-Pass., βαπτίζεσθαι εἰς μετάνοιαν, εἰς ἄφεσιν
ἁμαρτιῶν Ib.:-Med. to get oneself baptized, Ib. Hence βάπτισμα”
Catatan: komputer saya kelihatannya tak punya font yang tepat sehingga muncul kotak2.

LS hanya memberikan dua poin. Poin nomor 2-nya tidak banyak menolong untuk kita, karena sekedar memberitahu bahwa kata ini muncul juga dalam PB, dan diterjemahkan “to baptize.” Namun yang ingin kita tahu adalah arti literal dari baptizo. Orang-orang berbahasa Yunani di zaman Yesus, ketika membaca kata baptizo, apakah yang mereka tangkap? LS hanya memberikan satu: Arti literal dari baptizo bagi orang Yunani adalah: “to dip” (mencelupkan).
Ada pengertian metafor, itu jelas. Semua kata dalam bahasa apapun bisa dipakai secara figuratif. LS memberi contoh dalam tulisan Plato (tercelup dalam anggur) dan Plutarch (terbenam dalam hutang).Dalam Perjanjian Baru, LS memberikan sekedar “to baptize,” yang tidak lebih dari transliterasi. Jadi,orang-orang di zaman Yesus yang berbahasa Yunani, ketika mendengarkan kata “baptizo,” mengerti kata itu sebagai “to dip,” atau “to immerse” (mencelupkan, membenamkan, menyelamkan).

TIDAK ADA SATU LEXICON-pun yang memberikan arti “to sprinkle” (memercik) kepada kata
baptizo.

Pernyataan Para Reformator Mengenai arti Baptiso
Calvin berkata, “The word baptize, signifies to immerse; and the rite of immersion was observed by the ancient church.” (Institutes of Christian Religion, book iv, ch. 15). Terjemahan: “Kata membaptis berarti menyelamkan; dan ritus penyelaman dilakukan oleh gereja mula-mula.”

Luther: “The term baptism, is a Greek word. It may be rendered a dipping, when we dip something in water, that it may be entirely covered with water. And though the custom be quite abolished among the generality (for neither do they entirely dip children, but only sprinkle them with a little water,) nevertheless they ought to be wholly immersed, and presently to be drawn out again; for the etymology of the word seems to require it” (dalam karyanya De Sacramento Baptismi dikutip dari karya Dr. Du Veil
tentang Kis. 8:38). Terjemahan: “Istilah baptisan, adalah kata Yunani. Ia dapat diterjemahkan suatu pencelupan, [seperti] ketika kita mencelupkan sesuatu ke dalam air, sehingga seluruhnya tertutup oleh air. Dan walaupun kebiasaan ini sudah hampir hilang pada umumnya (karena mereka tidak mencelupkan anak-anak sepenuhnya, tetapi hanya memercik mereka dengan sedikit air,) namun mereka seharusnya sepenuhnya diselamkan, dan segera ditarik keluar lagi; karena etimologi kata ini kelihatannya mengharuskan demikian.”

Beza: “Christ commanded us to be baptized; by which word it is certain immersion is signified . . . . Nor does baptizein signify to wash, except by consequence: for it properly signifies to immerse . . . To be baptized in water, signifies no other than to be immersed in water, which is the external ceremony of baptism” (Epistola II. ad Thom. Tilium, [apud Spanhem. Dub. Evang. Pars iii. Dub. 24] Annotat. in Marc. vii. 4. Acts xix. 3; Matt. Iii. 11., dikutip dalam Abraham Booth, Paedobaptism Examined, vol 1. hal. 42). Terjemahan: “Kristus memerintahkan kita untuk dibaptis; dengan kata ini sudah pasti penyelaman yang dimaksudkan . . . . Dan baptizein tidak berarti mencuci, kecuali sebagai konsekuensi [dari penyelaman]: karena tepatnya dia berarti menyelamkan . . . Dibaptis dalam air berarti tidak lain dari diselamkan di dalam air, yang adalah seremoni eksternal baptisan.”

Ingat bahwa Luther, Calvin, Beza, hidup di zaman ketika semua orang di Universitas harus belajar Yunani! Jadi, mereka ini orang-orang yang sangat kenal bahasa Yunani, bukan seperti banyak spekulan hari ini. Lebih lanjut lagi, mereka bukanlah orang Baptis! Mereka tidak punya incentif untuk mendukung posisi Baptis. Justru karena itulah kesaksian mereka semakin berharga! Para reformator ini, dalam praktek bergereja mereka, memang melakukan pemercikan. Tetapi mereka tidak membenarkan tindakan mereka atas dasar arti kata baptizo.” Mereka satu suara bersaksi bahwa “baptizo” berarti “menyelamkan, mencelupkan” dan tidak berarti “memercik.” Kiranya anak cucu rohani mereka mau sejujur mereka!

Pernyataan Bapak Gereja Mengenai Arti Baptiso

Para reformator ini kelihatannya membenarkan praktek pemercikan mereka karena mayoritas orang di zaman mereka melakukannya, dan mereka tidak menggangap mempertahankan cara “baptisan” sebagai sesuatu yang penting. Di poin ini, saya tidak setuju dengan mereka, karena Tuhan memerintahkan untuk “membaptis,” sehingga kalau kita tidak“membaptis,”melainkan “memercik,” itu berarti kita belum melakukan perintah Tuhan.
Selain para reformator, ada saksi-saksi lain: bapa-bapa gereja. Epistle of Barnabas menggambarkan baptisan sebagai turun ke dalam, lalu keluar lagi dari air. Shepherd of Hermas, dengan bahasa yang figuratif yang tinggi, menggambarkan baptisan sebagai batu yang menggelinding masuk air (dia pakai batu dalam konteks batu sebagai pembangun gereja). Clemens dari Alexandria menggambarkan baptisan seperti lahir dari air, seperti kelahiran dari seorang ibu. Irenaeus menggambarkan baptisan seperti Naaman yang mencelupkan diri ke sungai Yordan (semua di atas dari Norman Fox, The Rise and Use of Pouring and Sprinkling for Baptism, dicetak ulang oleh Vance Publications, 2001, hal. 487) Di gereja Katolik , penyelaman dilakukan hingga abad ke-13. Oleh sebab itu, Thomas Aquinas, yang hidup di pertengahan abad 13, masih berkata: “It is safer to baptize by immersion, because this is the common practice.” (dikutip oleh H. Harvey, Dale’s Theory of Baptism, hal. 158, dicetak ulang oleh Vance Publication 2001).
Brunner, seorang sejarahwan Katolik, menulis tentang sejarah Roma Katolik: “Seribu tiga ratus tahun, baptisan biasanya dan rutinnya adalah penyelaman seseorang di bawah air, dan hanya dalam kasus luar biasa pemercikan atau penuangan dengan air; yang terakhir ini (percik dan tuang), lebih lanjut, diperdebatkan sebagai suatu cara baptisan; ya bahkan dilarang.” (Ibid.) Perubahan Gereja Roma dari selam kepada percik bukan karena mereka mendapatkan arti baru dari kata baptizo, tetapi karena theolog Roma percaya Gereja punya kuasa untuk mengubah bentuk sakramen. Gereja-gereja Yunani, hingga hari ini menolak pemercikan! Kalau Katolik di Barat, yang menggunakan Latin, lambat laun bergeser, gereja-gereja yang berbahasa Yunani (contoh Ortodoks Yunani), hingga hari ini menolak pemercikan, dan tidak mengakuinya sebagai baptisan. Menurut mereka kata baptizo tidak mengizinkan pemercikan! Saya rasa gereja-gereja yang berbahasa Yunani ini jauh lebih tahu arti bahasa mereka sendiri.

Gereja-gereja Yunani, hingga hari ini menolak pemercikan! Kalau Katolik di Barat, yang menggunakan Latin, lambat laun bergeser, gereja-gereja yang berbahasa Yunani (contoh Ortodoks Yunani), hingga hari ini menolak pemercikan, dan tidak mengakuinya sebagai baptisan. Menurut mereka kata baptizo tidak mengizinkan pemercikan! Saya rasa gereja-gereja yang berbahasa Yunani ini jauh lebih tahu arti bahasa mereka sendiri”.

Penjelasan Ayat-ayat Yang Digunakan Para Penentang Baptis Selam

1. Markus 7:4 “… hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga dan meja-meja” (saya memang percaya kata “meja-meja” ada pada orisinal, karena saya percaya Textus Receptus adalah teks
yang dipelihara).

LAI menerjemahkan baptismois (yang sebenarnya berbeda dari baptizo, namun cognate/satu akar) dengan mencuci di sini. Beza mengatakan (kutipan di atas) bahwa baptizo tidak berarti “mencuci” kecuali sebagai konsekuensi dari suatu penyelaman/pencelupan. Lexicon Thayer setuju, dan dalam definisinya tentang baptizo: “1. properly, to dip repeatedly, to immerge, submerge (of vessels sunk, Polybius 1, 51, 6; 8, 8, 4; of animals, Diodorus 1, 36). 2. to cleanse by dipping or submerging, to wash, to make clean with water.”
Setelah memberikan arti utama baptizo sebagai “menyelamkan,” Thayer memberikan arti kedua: membersihkan dengan cara mencelupkan atau menaruh di dalam air. Jadi jelas, bahwa baptizo berarti menyelamkan, tetapi dalam konteks bisa berarti mencuci, tetapi tetap mempertahankan arti utamanya: mencelupkan/memasukkan ke dalam air. Dalam hal ini Thayer setuju dengan Beza. Dengan kata lain, baptizo tidak bisa berarti “mencuci dengan cara dipercik” atau “mencuci dengan cara dilap,” tetapi “mencuci dengan memasukkan ke dalam air / mencelup.”
Kita bertanya, adakah sesuatu di ayat ini yang membuat arti literal “menyelamkan” atau “mencuci dengan cara memasukkan ke dalam air” tidak mungkin? Tidak ada! Cawan, kendi, dan perkakas, dan bahkan meja, bisa saja dimasukkan ke dalam air. Tidak ada yang tidak mungkin di sini. Mencuci cawan, kendi, dan perkakas dengan cara mencelup sama sekali bukan hal yang luar biasa. Tukang siomai saja sering melakukannya! Saya sering melihat seorang tukang siomai mencuci piring dan perabot-perabotnya dengan cara memasukkan benda-benda itu ke dalam ember yang penuh berisi air. Ah, mungkin anda bertanya, bagaimana dengan meja? Patut dicamkan bahwa kata meja di sini bukan seperti meja kita hari ini yang tingginya semeter lebih. Kata Yunaninya adalah kline (dasar kata “recline” dalam Inggris), dan lebih seperti tempat pembaringan, di tempat lain diterjemahkan tempat tidur. Tetapi juga bukan tempat tidur besar King Size misalnya! Ini adalah tempat tidur portable, yang bisa dibawa-bawa oleh satu orang. “Maka dibawa oranglah kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya (kline)” (Mat. 9:2). “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu (kline) dan pulanglah ke rumahmu!” (Mat. 9:6). “Lalu datanglah beberapa orang mengusung seorang lumpuh di atas tempat tidur (kline)” (Luk. 5:18). Kata ini memang bisa juga diterjemahkan meja, karena cara makan orang Yahudi pada waktu itu adalah dengan berbaring pada sisi mereka.

Jadi, adat istiadat yang sangat berbeda. Meja atau tempat tidur ini mirip suatu “usungan” karenanya rupanya mudah dibawa ke manamana. Apakah tidak mungkin untuk menyelamkan kline ini? Jauh dari tidak mungkin, ini mungkin sekali. Dan karena teks sudah memberitahu kita bahwa ada “penyelaman meja,” maka baiklah kita percaya!
Sepertinya kaum pemercikan agak terbalik logikanya. Mestinya mereka mencari bagaimana kata baptizo dipakai secara umum pada waktu penulisan PB. Lihat saja karya-karya klasik Yunani, semuanya memakai baptizo sebagai pencelupan/penyelaman, baik literal maupun figuratif. Jadi ketika ada ayat yang berkata “pen-baptisan” cawan, kendi, tembaga, dan meja, sebaiknya kita terima kata-kata itu, bukannya malah mau mendefinisikan ulang baptizo.

Sebagai ilustrasi: kalau misalnya di koran suatu hari kita membaca judul: “Mobil tercelup di sungai Ciliwung.” Nah, mobil bukanlah sesuatu yang biasanya dicelup. Tetapi, membaca headline itu, apakah kita jadi meragukan arti kata “tercelup”? Perlukan kita mengganti definisi “celup” dengan “mencuci”? Tentu tidak. Mengapa? Karena arti kata “celup” sudah tidak diragukan lagi. Jadi, walaupun mobil tidak biasa dicelup, headline itu justru mengungkapkan sesuatu yang luar biasa, tetapi nyata.

Bagi orang-orang Yunani yang membaca Perjanjian Baru di abad pertama, arti baptizo tidak diragukan lagi, yaitu “mencelup, menyelamkan, membenamkan.”

Saya bisa mengutip banyak sekali otoritas bahasa tentang hal ini, tetapi kesaksian Calvin, Luther, dan Beza, yang adalah kaum pemercik!, cukuplah. Kita tidak perlu tidak percaya bahwa orang-orang Yahudi yang superstitious, dan sangat terikat oleh berbagai kebiasaan dan adat, merendam kline (meja/usungan) mereka. Apakah kita perlu mencari definisi lain dari kata “telan,” karena sulit dipercaya bahwa ikan menelan Yunus? Ataukah kita percaya kata Alkitab?
2. Lukas 11:38 “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci tangan-Nya sebelum makan.” Komentar Budi Asali: “Orang mencuci tangan tidak harus merendam tangannya dalam air, tetapi bisa dengan mencurahkan air pada tangan. Jadi jelas bahwa ‘baptis’ di sini tidak harus berarti ‘celup / selam’.” Dalam argumentasinya, Budi Asali malah menjadikan kata “mencuci” dalam bahasa Indonesia sebagai standar untuk menentukan arti baptizo. Ini jelas salah, dan adalah logika yang terbalik. “Mencuci” dalam bahasa Indonesia memang tidak harus celup, tetapi baptizo haruslah mengandung makna itu. Sekali lagi, kutipan Beza pantas diulang: “. . . Dan baptizein tidak berarti mencuci, kecuali sebagai konsekuensi [dari penyelaman]: karena benarnya dia berarti menyelamkan”

3. 1 Korintus 10:2 “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.”

Justru lebih tidak mungkin lagi diartikan “mereka dipercik dalam awan dan dalam laut” atau “mereka dituang dalam awan dan dalam laut.” Kita mengerti kata baptizo di sini dalam pengertian figuratifnya. Ini sering juga dipakai dalam Yunani klasik. Orang dikatakan terbaptis dalam hutang. Atau terbaptis dalam kesedihan. Ini pemakaian figuratif, tetapi tetap terjangkar kepada arti literalnya: penyelaman/pencelupan. Jadi artinya: orang itu terbenam / terliputi oleh hutang, kesedihan, dll. Orang Israel ketika melewati laut Merah dikatakan “dibaptis dalam awan dan dalam laut.” Ini cocok sekali dimengerti: mereka terliputi dalam awan dan dalam laut! Membaca Firman Tuhan harus hati-hati! Tidak dikatakan mereka dibaptis dalam air laut, tetapi dalam laut saja! Mereka melalui tanah kering waktu itu, tidak ada airnya, tetapi tetap melalui lautnya! Di kiri dan kanan mereka ada air laut Merah, di atas kepala mereka ada awan, suatu gambaran yang sangat jelas bahwa mereka “terliputi dalam awan dan dalam laut!” Sekali lagi kita lihat bahwa pemakaian Alkitab cocok dengan pemakaian seluruh karya Yunani klasik, bahwa baptizo artinya “celup/selam/benam.”

4. Ibr. 9:10 “karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macam pembasuhan. .

Saya sungguh tidak melihat bagaimana ayat ini bertentangan dengan kesaksian yang hampir universal bahwa baptizo berarti suatu penyelaman, atau “pembasuhan berdasarkan penyelaman.” Tidak ada di ayat ini yang mengharuskan arti lain. Budi Asali berkata, “pasti Ibr 9:10 ini menunjuk pada ‘pemercikan’ dalam Ibr 9:13,19,21.” Padahal tidak ada yang PASTI dalam penarikan kesimpulannya itu. Malah sudah jelas, berdasarkan arti dari baptizo, bahwa Ibrani 9:10 PASTI tidak merujuk kepada rantizo di 9:13, 19, dan 21. 1) Kata Yunani yang dipakai berbeda. 2) Tidak ada lexicon yang memberikan “to sprinkle” sebagai arti dari baptizo. 3) Tidak pernah ada satu pun pemakaian baptizo dalam karya Yunani sekuler yang berarti “memercik.” 4) Ada banyak pembasuhan dalam Hukum Taurat yang tidak ada kaitannya dengan “pemercikan” darah, misalnya: “Kemudian haruslah imam mencuci pakaiannya dan membasuh tubuhnya dengan air, sesudah itu masuk ke tempat perkemahan, dan imam itu najis sampai matahari terbenam.” (Bil. 19:7) Sehingga heran sekali, berdasarkan logika apakah bahwa baptismois di ayat 10 “pasti” mengacu kepada rantizo di ayat 13, 19, dan 21, padahal arti kedua kata ini sama sekali berbeda?

Para pendukung pemercikan berkata bahwa baptizo tidak harus berarti menyelamkan, tetapi bisa juga arti-arti lain. Tetapi dengan argumentasi ini, sebenarnya mereka telah membuat kata “baptizo” tidak memiliki arti yang jelas. Jadi, menurut mereka apakah baptizo? Menyelam sekaligus memercik, sekaligus menuang, sekaligus mencuci. Jika ada gereja hari ini yang mulai melakukan “baptisan” dengan cara mengelap badan yang bersangkutan, mungkin itu akan masuk juga ke dalam arti baptizo! Tidak ada paralelnya di bahasa mana pun di dunia, bahwa satu kata berarti sekaligus “mencelupkan,” sekaligus “memercik,” sekaligus “menuang.” Sungguh ini adalah kekonyolan.

Benarkah pada hari Pentakosta tidak mungkin dilakukan “pencelupan” / “penyelaman” kepada 3000 orang? Apakah Hodge atau Budi Asali ada di sana? Bukankah baik Hodge maupun Asali tidak bisa 100% memastikan bahwa tidak ada cara untuk “menyelamkan” orang di hari Pentakosta? Jadi, bahwa tidak ada cukup air, semuanya hanyalah spekulasi! Apakah kita perlu meragukan arti literal dari sebuah kata, hanya karena kata itu dipakai dalam suatu situasi yang bagi pikiran kita sulit? Pemakaian Yunani atas kata baptizo sudah terdokumentasi dengan jelas, dan semuanya mengacu kepada menyelamkan. Satu-satunya alasan untuk mencari definisi lain untuk kata ini adalah karena alasan doktrinal, yaitu untuk membenarkan pemercikan!
Kita telah melihat sebelumnya bahwa baptisan percik baru mulai menjadi trend sekitar abad ke- 13. Tetapi kapankah tercatat tentang pemercikan/penuangan pertama? Dalam tulisan-tulisan para “Bapa Gereja,” acuan kepada pemercikan/penuangan muncul pertama di tulisan Cyprian (pertengahan abad ke-3 M). Dalam surat Cyprian kepada Magnus, ia berkata: “You have also inquired, dearest son, what I think concerning those who, in sickness and debility, have laid hold on the grace of God, whether they are to be regarded as Christians in regular standing, seeing they have not been immersed in the water of salvation, but it has merely been poured upon them. So far as my poor ability comprehends the matter, I consider that in the sacraments which pertain to salvation, when the case is one of strict necessity and God grants his indulgence, divine simpler methods confer the whole benefit upon believers. And it should not disturb any that the sick are only sprinkled or poured upon, since the Holy Scriptures says [Here he quotes Ezekiel xxxvi, 25: ‘Then will I sprinkle clean water upon you,’ and certain passages in Numbers about the sprinkling of the water of purification]. Whence it appears that the sprinkling of water has equal efficacy with the full bath of salvation.” (Norman Fox, “The Rise of the Use of Pouring and Sprinkling for Baptism” The Baptist Review 4 (Oct-Dec 1882), hal. 486, reprinted by Vance Publication, 2001)
Terjemahan: “Kamu juga telah bertanya, anakku, apa yang saya pikir tentang mereka yang, dalam kesakitan dan kelumpuhan, telah mendapat kasih karunia Allah, apakah mereka dapat dianggap Kristen sebagaimana yang lain, karena mereka tidak diselamkan ke dalam air keselamatan, tetapi hanyalah dituangkan ke atas mereka. Sejauh kemampuan saya yang buruk dapat memahami masalah ini, saya menganggap bahwa dalam sakramen yang berhubungan dengan keselamatan, ketika kasusnya adalah terpaksa dan Allah mengizinkan, metode ilahi yang lebih sederhana memberikan benefit yang penuh kepada orang-orang percaya.Dan janganlah orang sakit itu cemas karena hanya dipercik atau dituangkan air, karena Kitab Suci berkata, [Di sini dia mengutip Yehezkiel 36:25: ‘Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih,’ dan perikop tertentu dalam Bilangan tentang pemercikan air pentahiran]. Dari sana kelihatannya pemercikan air memiliki manfaat yang sama dengan mandi keselamatan yang sepenuhnya.”

Ada beberapa poin yang memimpin kepada kesimpulan yang kuat dalam kutipan Cyprian ini:

1. Mengingat bahwa surat Cyprian ini ditulis sekitar tahun 250, jadi hanya 150 tahun terpisah dari Rasul terakhir, Yohanes, Cyprian kemungkinan besar kenal dengan orang-orang yang ayahnya pernah bertemu para Rasul dan melihat para Rasul membaptis.
2. Bahwa pada tahun 250 M, muncul pertanyaan, apakah sah seseorang dipercik, mengindikasikan bahwa para Rasul tidak pernah memercik! Apalagi para hari Pentakosta! Kalau para Rasul memercik pada hari Pentakosta, pertanyaan yang dijawab oleh Cyprian ini tidak mungkin akan muncul! Siapakah yang akan meragukan pemercikan jika para Rasul memang memercik? Tidak ada!
3. Cyprian memang dalam surat ini menyetujui pemercikan (yang adalah kesalahan), tetapi perhatikan bagaimana dia menjawabnya: a) dengan keraguan; dia tidak pasti benar; dia menggunakan bahasa yang rendah hati: ‘so far as my poor ability comprehends’; b) dengan mengacu kepada Perjanjian Lama, mengutip Yehezkiel dan Bilangan; c) Tidak sama sekali mengutip Perjanjian Baru. Jadi, terlihat bahwa Cyprian sama sekali tidak menyangsikan bahwa dalam Perjanjian Baru, baptisan adalah penyelaman. Cyprian yang fasih Yunani memang tidak mungkin meragukan poin ini! Tetapi sayang sekali, belum ada Hodge pada zaman Cyprian, untuk mengingatkan Cyprian bahwa di Yerusalem tidak ada cukup air untuk membaptis 3000 orang, sehingga mereka perlu dipercik! Kalau begitu, Cyprian bisa lebih lega menjawab pert
4. Bahwa Cyprian menganggap baptisan sebagai bagian dari keselamatan, sakramen yang berhubungan dengan keselamatan. Ini adalah kesesatan. Tetapi ini memperlihatkan bahwa asal muasal munculnya praktek pemercikan adalah menyimpangnya makna baptisan. Ketika baptisan dianggap menyelamatkan, maka bayi pun harus dibaptis. Orang sakit pun harus dibaptis. Dan karena mereka tidak bisa dibaptis, maka dipercik pun jadilah!anyaan tersebut!

Mengenai pernyataan Hodge bahwa ditemukan bak baptisan yang tidak bisa dipakai untuk pencelupan, ini saya ragukan, karena Hodge tidak menyertakan gambarnya (atau ada?): 1) entah memang itu bukan bak baptisan; 2) atau sebenarnya memang cukup untuk mencelupkan. Dalam gerejagereja Baptis, tidak jarang baptisan dilakukan menggunakan kolam mainan anak-anak, yang airnya selutut orang dewasa. Si petobat duduk di kolam mainan itu, lalu dia dibaringkan. Sebaliknya, saya punya buku berjudul Archaeology of Baptism (382 halaman), yang mendokumentasikan bukti-bukti Arkeologi tentang baptisan, termasuk foto-foto bak-bak baptisan ataupun lukisan konsep baptisan! Dari hasil penelitian Arkeologi, tidak dapat diragukan bahwa gerejagereja mula-mula mempraktekkan baptisan, bukan pemercikan!Apalagi menyinggung gereja-gereja Yunani! Gereja-gereja Yunani hingga hari ini murni mempraktekkan penyelaman, dan mereka tidak mau menerima pemercikan sebagai baptisan! Ini karena
mereka mengerti bahasa mereka sendiri.

Mengenai kasus pembaptisan keluarga Kornelius, sama sekali tidak ada kesulitan.

Mengingat bahwa arti umum dan literal dari baptizo adalah menyelamkan, para pendukung pemercikan haruslah mampu membuktikan bahwa penyelaman tidak bisa dilakukan. Ini tidak dapat mereka lakukan. Apalagi dalam kasus kepala penjara Filipi, Alkitab tidak mengatakan bahwa baptisan terjadi dalam penjara! (Apakah Budi Asali menambahi Alkitab di sini?) Malahan konteks memberitahu kita bahwa Paulus tidak lagi dalam penjara, tetapi sudah diberi keleluasaan oleh kepala penjara. Sekali lagi, pendukung pemercikan harus bisa membuktikan bahwa 100% tidak bisa dilakukan penyelaman, barulah mereka bisa memakai perikop ini. Jelas mereka tidak bisa membuktikan hal tersebut. Kaum Baptis hanya perlu memberikan satu alternatif yang mungkin: misalnya, bisa saja mereka turun ke sungai kecil di dekat rumah kepala penjara, bisa saja ada bak di dalam penjara, bisa saja ada bak di rumah kepala penjara, dll. Dengan adanya satu saja alternatif yang MUNGKIN terjadi, sudah gugur argumen para pemercik di sini.

Wow, benarkah Hodge bisa memastikan bahwa tidak ada air dekat situ yang dapat dipakai sebagai tempat baptisan? Apakah Hodge pernah mensurvei setiap jengkal tanah antara Palestina dan Etiopia? Kalau pun pernah, pastilah sia-sia! Karena selama ribuan tahun antara kisah Filipus dan Hodge, topografi sungai bisa jadi sudah berubah total! Dalam lebih dari 1000 tahun, sungai besar pun sudah bisa hilang. Ini argumen yang sungguh tidak berbobot. Sebaliknya, penggunaan kata baptizo dalam masyarakat Yunani sebagai “menyelamkan,” seharusnya membuat kita percaya kata-kata Alkitab. Lagipula, kalau memang sida-sida dipercik, kenapa perlu ambil air dari sungai kecil yang kotor? Padahal beberapa tetes dari persediaan air minum bersih saja sudah mencukupi!

Bagaimana dengan alternatif ketiga: Sida-sida turun ke dalam air yang sampai ke perut/dada? Apakah ini tidak mungkin?
Keduanya turun ke dalam air! Hal yang sangat tidak perlu dilakukan hanya untuk melakukan pemercikan! Setelah turun ke dalam air, barulah Filipus membaptis sida-sida, yaitu mencelupkan dia. Lalu keduanya keluar lagi dari air itu! Kaum Baptis tidak mengatakan bahwa di ayat ini “turun ke dalam air” itu adalah baptisannya! Turun ke dalam air itu memungkinkan Filipus membaptis sida-sida! Setelah “turun ke air” barulah sida-sida dibaptis. Lalu mereka kedua keluar dari air. Yang ditekankan kaum Baptis adalah: kalau memang ini pemercikan, sama sekali tidak perlu turun ke air (biar hanya semata kaki pun), cukup diambil sedikit, jauh lebih praktis. Faktanya, gereja-gereja pemercik hari ini sama sekali tidak mencari sungai untuk melakukan pemercikan mereka! Dan mereka tidak turun ke air untuk melakukan pemercikan!

Lukas 3:16 sangat bisa sekali diterjemahkan: I baptize you in water! (di dalam air!) Entah memang penguasaan Yunani Budi Asali sangat kurang, atau dia pura-pura tidak tahu. Hudati adalah bentuk datif dari kata benda hudor. Bentuk datif ini dalam konteks Lukas 3;16 bisa diterjemahkan instrumentatif (dengan air) atau secara locative (dalam air).
Dalam Matius 3:11, digunakan preposisi en, yang diakui bisa diartikan in. Tetapi, pembaca lupa diberitahu bahwa primary meaning dari en adalah “di dalam.” Dalam KJV, en diterjemahkan “in” sebanyak 1874 kali, dan diterjemahkan “with” hanya 134 kali. Jadi, membaptis en hudati, sebenarnya jauh lebih kuat diterjemahkan “di dalam air” daripada “dengan air” karena pemakaian en primernya adalah “dalam” bukan “dengan.”

Lagipula, ada kasus Markus 1:9, “…dan Ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes” yang memakai preposisi eis ton Iordanen (di dalam Yordan). Preposisi eis berarti di dalam, dan tidak bisa diterjemahkan dengan!

Kesimpulan: Orang yang dipercik belum dibaptis. Jadi, maukah anda menaati perintah Tuhan untuk dibaptis, ataukah anda mau mencari lagi alasan lain untuk membenarkan tradisi yang tidak alkitabiah? Masih banyak argumen lain untuk melakukan penyelaman daripada pemercikan. Misalnya Yohanes 3:23, dll. Lagipula, pemercikan hanyalah setengah kesalahan. Kesalahan yang lebih fatal adalah “baptis” bayi.

PERAYAAN NATAL 25 DESEMBER ADALAH TRADISI GEREJA, BUKAN AJARAN ALKITAB

LATAR BELAKANG NATAL 25 DESEMBER

Natal berasal dari bahasa Latin yang artinya Lahir, berasal dari kata Dies Natalis artinya perayaan hari jadi, yang meliputi; hari, tanggal, bulan dan tahun. Alkitab tidak pernah mencatat hari, bulan dan tahun kelahiran Yesus Kristus, kronologi catatan Alkitab mengenai kelahiran Yesus Kristus berhubungan dengan pengenapan nubuatan dalam kitab Perjanjian Lama. Lalu dari manakah penetapan perayaan hari kelahiran Yesus Kristus 25 Desember itu? Pada zaman para Rasul tidak ada gereja yang merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau hari Natal, bahkan gereja mula-mula tidak mengenal hari perayaan Yesus Kristus, ini dibuktikan dengan tidak ditemukan dalam Alkitab adanya jemaat yang merayakan Natal atau hari kelahiran Yesus Kristus, dan rasul-rasul pun tidak memberikan pernyataan khusus untuk merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau Natal. Jika Rasul-rasul dan gereja mula-mula tidak pernah merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau Natal 25 Desember, lalu dari manakah tradisi Natal 25 Desember?

Perkembangan gereja sesudah masa para Rasul mengalami perubahan besar, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Beberapa kelompok Kristen tetap memegang teguh kemurnian ajaran para Rasul, dan tetap memegang konsep kemurnian gereja, namun sebagian besar gereja Kristen sesudah zaman para Rasul terpengaruh dengan konsep dunia kekafiran dan filsafat, hal ini disebabkan banyaknya tokoh-tokoh gereja yang berasal dari kalangan kafir dan filsuf yang tidak sepenuh meninggalkan konsep kekafiran dan filsafat sesudah menjadi kristen, sebut saja Marcion, “yang membedakan Allah perjanjian lama dan perjanjian baru” dan Marcion juga menolak mentah-mentah kitab perjanjian lama sebagai kanon. Ada lagi Montanus yang mempercayai nubuatan bohong dua nabiahnya Priscilla dan Maximilla yang mengatakan bahwa, “ semua pengikutnya harus melepaskan segala ikatan duniawi dan menantikan kedatangan Yesus Kristus di Pepusa (sebuah desa di Asia Kecil) pada waktu itu.” Perubahan besar dan munculnya bidat-bidat pada masa itu menyebabkan kemurnian dari ajaran gereja Kristen dinodai.

Puncak dari perubahan besar kemurnian ajaran gereja ialah pada saat Kaisar Roma Constantine mengumumkan dirinya sebagai orang Kristen (312 AD), dan mengambil alih kuasa gereja secara menyeluruh di bawah tangan pemerintah atau yang dikenal dengan Edict of Millan (313 AD). Sejak saat itu gereja di bawah kuasa tangan pemerintah, dan gereja pun digunakan sebagai kekuatan politik baru dalam kekaisaran Romawi, perubahan-perubahan dalam gereja tidak lagi didasarkan pada ketetapan Alkitab melainkan pada situasi politik yang menguntungkan kekuasan Romawi. Gereja di bawah kekaisaran Romawi bukan lagi sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Timotius 3: 15), melainkan sebagai kekuatan politik baru dalam kekaisaran Romawi yang dapat memberikan keuntungan politik pada pemerintahan Romawi.

Kejayaan kekaisaran Romawi pada masa itu membawa ruang lingkup wilayah gereja semakin luas, dan gereja pun memainkan peran yang sangat penting dalam percaturan politik Romawi, beberapa kelompok kristen yang menyadari penyimpangan gereja-negara memisahkan diri dan tinggal ditempat-tempat terpencil dengan tujuan untuk menjaga kemurnian ajaran gereja yang telah diwarisi oleh para Rasul. Dan pada masa masa inilah ajaran gereja yang dicita-citakan para Rasul dinodai oleh dunia kekafiran, salah satu penghinaan kemurnian ajaran gereja adalah menetapkan dewa Matahari sebagai Yesus Kristus, dan mengubah hari perayaan dewa Matahari 25 Desember sebagai hari lahir Yesus Kristus.

Dunia kekafiran di Eropa mengenal tanggal 25 Desember sebagai hari raya dewa Matahari. Menurut tradisi kekafiran di Eropa tanggal 25 Desember merupakan titik balik matahari kembali ke Eropa atau posisi matahari berada tepat di garis lintang selatan (Eropa pada puncak musim dingin), dan Matahari akan bergeser ke Eropa, sehingga terjadi perubahaan musim ke musim semi. Pada tanggal 25 Desember sudah menjadi kebiasaan orang-orang kafir di Eropa untuk memuja dan menyembah  dewa Matahari karena kesetiaan dari dewa Matahari mengembalikan matahari ke Eropa setiap tahunnya. (lihat di Britinnica encyclopedia dan Americana encyclopedia mengenai Christmas). Adakah hubungannya 25 Desember dengan hari kelahiran Yesus Kristus? Jelas tidak! Karena antara dunia kekafiran dan dunia kekristenan merupakan dua dunia yang bertolak-belakang. Lalu mengapakah banyak orang Kristen sama dengan orang kafir yang membuat perayaan Natal 25 Desember?

Pada saat Kaisar Constantine menempatkan gereja sebagai suatu kekuatan politik baru dalam kekaisaran Romawi, maka fungsi gereja yang dicita-citakan Tuhan Yesus dan para Rasul mengalami penyimpangan. Gereja yang diharapkan Yesus Kristus adalah gereja yang dapat menopang kemurnian ajaran Alkitab, dan harapan Tuhan Yesus Kristus ini dinodai oleh ulah kaisar Constantine. Kaisar Constantine lebih mengutamakan peran gereja sebagai organisasi politik daripada sebagai organisasi Rohani, hal ini dibuktikan dengan menetapkan hari raya dewa Saturn 25 Desember sebagai hari lahir Yesus Kristus atau hari Natal, dan memaksa semua orang dalam kekaisaran Romawi pada masa itu, baik Kristen maupun kafir untuk merayaan perayaan 25 Desember sebagai hari lahir Yesus Kristus atau Natal. Dan semangat kekafiran tersebut dipopulerkan oleh Paus Liberius (354 AD), masih dilakukan orang Kristen sekarang dengan merayaan Natal 25 Desember.

PENJELASAN ALKITAB MENGENAI KELAHIRAN YESUS KRISTUS

Berita mengenai mengandungnya Maria, ibu jasmani Yesus Kristus disampaikan malaikat Gabriel dalam bulan yang keenam, “Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret,” (Lukas 1: 26). Kalimat, dalam bulan keenam menunjukkan bahwa, itu bulan keenam bukan enam bulan. Bulan keenam yang ditulis Injil Lukas berdasarkan penanggalan kalender Yahudi yang jatuh pada akhir september-awal oktober. Dari penjelasan Injil Lukas inilah diperkirakan Yesus Kristus mulai dikandung bulan september-oktober, dan secara alamiah Yesus harus berada dalam kandungan selama sembilan bulan. Jika dikandung pada bulan september-oktober dan dilahirkan pada tanggal 25 Desember, maka proses di dalam kandungan hanya tiga bulan (bila dihitung dengan penanggalan Yahudi, namun bila ada yang ingin menghitungnya dengan penanggalan sekarang maka prosesnya hanya enam bulan). Tidak seorang bayi yang hidup bila dilahirkan hanya berada tiga bulan dalam kandungan, dan Yesus Kristus adalah bayi yang lahir secara normal.

Berita mengenai kelahiran Yesus Kristus disampaikan Malaikat kepada gembala-gembala yang berada di padang (Lukas 2: 8-9). Dapatkah gembala-gembala berada di Padang pada tanggal 25 Desember? Ezra 10: 9 dan Yeremia 36: 22 mencatat bahwa pada bulan november-desember (bulan kesembilan penanggalan kalender Yahudi) adalah musim dingin dan hujan, suhu rata-rata di wilayah Bethlem pada bulan desember 7 derajat Celsius, kadang-kadang pada malam hari bisa di bawah nol, jarang ada salju tetapi bisa turun salju, dan sudah dapat dipastikan bahwa para gembala yang tinggal di wilayah itu memastikan diri agar mereka dan kambing domba mereka jangan sampai berada di luar rumah pada siang dan malam hari pada bulan desember. Dari penjelasan di atas sudah dapat dipastikan bahwa Yesus Kristus tidak lahir pada 25 desember.

Dan alasan lain Yesus tidak lahir bulan 25 desember adalah adanya Sensu yang dilakukan kaisar Agustus (Lukas 2: 1-3), Yusuf dan Maria harus melakukan perjalanan dari Nazaret ke Betlehem yang berjarak sekitar 70 mil atau ditempuh dengan 3-4 hari dengan jalan kaki, dan sudah dipastikan mustahil Yusuf dan Maria bisa sampai dengan selamat di Betlehem apabila melakukan perjalanan pada bulan desember. Dari penjelasan Alkitab mengenai kronologi kelahiran Yesus Kristus, sudah dapat dipastikan bahwa Yesus tidak dilahirkan pada 25 desember sebab pada waktu kelahiran Yesus Kristus kota Betlehem musim panas (Lukas 2: 8-12), dan ada bintang (Matius 2: 2), ini sangat kontradiksi dengan bulan desember yang musim dingin dan tidak ada bintang yang bersinar. Apabila dihitung berdasar Lukas 1: 26, maka kelahiran Yesus Kristus diperkirakan jatuh pada bulan juni-juli dan sangat sesuai dengan Alkitab bahwa pada bulan juni-juli adalah musim panas.

PANDANGAN ALKITAB MENGENAI HARI RAYA NATAL 25 DESEMBER

Tradisi memilihara hari Raya merupakan tradisi yang dimiliki setiap kebudayaan disetiap suku bangsa di dunia, hampir seluruh suku bangsa di dunia memiliki hari raya khusus dengan tradisi latar belakang berdasar sejarah dan mitos kebudayaan setempat. Karena inilah Paulus mengingatkan orang-orang percaya supaya tidak terikat oleh perayaan hari raya tertentu (Kolose 2: 16), dengan segala peraturan-peraturannya yang nampaknya penuh hikmat, tetapi semuanya ini tidak berguna bagi Tuhan selain untuk memuaskan hidup duniawi (Kolose 2: 23).

Perayaan Natal 25 desember  tidak pernah diperintahkan Alkitab,  yang mempopulerkan Natal 25 Desember Paus Liberius,  Alkitab tidak pernah memerintahkan untuk merayakan hari perayaan Tuhan Yesus Kristus, dan tercatat dalam Alkitab Tuhan Yesus Kristus selama hidup di dunia tidak pernah merayakan hari kelahirannya. Roma 14: 23,mengatakan bahwa, ”…segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa.” Dasar iman Kristen adalah Alkitab, jadi segala sesuatu yang tidak bertindak sesuai dengan Alkitab adalah dosa, Artinya yang merayakan perayaan Natal 25 Desember melanggar perintah Tuhan atau berdosa, karena mereka tidak melakukan perintah Tuhan sebaliknya mereka tunduk pada tradisi gereja yang diatur oleh manusia, Paus atau Gembala setempat (Kolose 2: 20-23), jangan jadi orang bodoh supaya kemenanganmu bersama dengan Kristus tidak digagalkan oleh orang tertentu (Kolose 2: 18-19).

SIKAP ORANG KRISTEN LAHIR BARU MENYINGKAPI HARI KELAHIRAN YESUS KRISTUS

Pernyataan bahwa, “Natal Tuhan Yesus Kristus tidak ada” adalah pernyataan yang salah karena arti dari Natal adalah lahir. Yesus Kristus pernah dilahirkan, itulah sebabnya yang membuat pernyataan bahwa, “Natal Tuhan Yesus Kristus tidak ada” merupakan pernyataan yang salah. Menurut catatan Alkitab malam kelahiran Yesus Kristus di dunia begitu istimewa, kelahiran Yesus disambut oleh bintang Timur, para Malaikat di Surga, gembala-gembala di padang , dan orang-orang Majus yang datang memberikan persembahan istimewa kepada bayi Yesus Kristus. Malam kelahiran Yesus Kristus begitu istimewa di hati semua manusia. Apakah yang membuat malam kelahiran bayi Yesus Kristus sangat istimewa? Apabila kita membaca Alkitab dengan teliti dan merenungankan kelahiran Yesus Kristus di dunia, maka kita akan menemukan kelahiran Yesus Kristus sangat istimewa, karena membawa kabar kesukaan bagi umat manusia yakni kabar keselamatan. “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Lukas 2: 11), berita inilah yang membuat malam itu sangat istimewa, sangat istimewa bagi Malaikat-malaikat di Surga, sangat istimewa bagi gembala-gembala di padang, sangat istimewa bagi orang Majus, dan sangat istimewa bagi semua umat manusia. Lalu jika malam kelahiranNya begitu istimewa, mengapakah Ia tidak pernah merayakan hari kelahiran, dan tidak membuat perintah tertulis untuk merayakan hari kelahiranNya? “Sekalipun Yesus Kristus seribu kali lahir di dunia, namun bila tidak lahir di hati Anda. sia-sialah kelahiran Yesus Kristus bagi Anda.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa yang paling penting dari kehadiran Yesus Kristus di dunia ini yakni supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran ( 1Timotius 2: 3-4), Yesus Kristus tidak pernah merayakan kelahiranNya karena yang paling penting dari kelahiranNya adalah Berita Keselamatan.

Sikap yang benar dari orang Kristen Lahir baru dalam menyingkapi hari kelahiran Yesus Kristus adalah mengucap syukur, bukan dengan selebrasi seperti orang-orang kafir dan penyembah berhala. Jika pada tanggal 25 Desember kita bersyukur pada Tuhan karena sudah diselamatkan maka itulah yang dikehendaki Tuhan, kita bersyukur sebagai orang sudah diselamatkan dengan membuang segala asesoris penyembahan berhala, sepert; Pesta Natal, pohon Natal, hadiah Natal dari Sinterklas. Pesta Natal dan hadiah Natal dari Sinterklas adalah ciptaan manusia yang tidak berdasarkan kebenaran Alkitab (Kolose 2: 23), sedangkan pohon Natal berhubungan dengan penyembahaan berhala di masa lalu yang sangat dibenci Tuhan, Tuhan menyuruh bangsa Israel untuk menebang pohon-pohon onak dan rimbun yang menyimbolkan penyembahan berhala (Ulangan 12: 2; IIRaja-raja 17: 10-11; Yehezkiel 6: 13-14).

Jadi bukanlah hari, tanggal, dan bulan perayaan Natal yang penting bagi Tuhan, yang paling penting bagi Tuhan ialah kelahiran kembali bagi setiap orang Kristen (Matius 6: 33; Yohanes 3: 3, 5),  25 Desembar ditetapkan berdasarkan ketetapan manusia atau gereja tertentu, bukan ketetapan Alkitab (Kolose 2: 20-23).

SALAH MENAFSIR ALKITAB

Internet, televisi, radio, surat kabar, buku-buku rohani dapat dengan muda dimiliki orang Kristen zaman sekarang, media-media ini mempermudah orang kristen untuk mengenal kekristenan lebih dekat, sehingga banyak bermunculan pengkotbah-pengkotbah baru, pengkotbah-pengkotbah tersebut dengan mudahnya menafsirkan Alkitab, tanpa memikirkan bahaya dari salah menafsir Alkitab, Petrus memperingatkan hal demikian dalam surat 2 Petrus 1: 20 yang berbunyi; “…nubuat-nubuat dalam kitab suci tidak boleh ditafsir oleh kehendak sendiri.” Salah satu ciri dari menafsir Alkitab menurut kehendak hati sendiri adalah mengutip satu ayat kemudian menjelaskan ayat tersebut berdasarkan pemikirannya sendiri tanpa memperhatikan ayat-ayat Alkitab lain, kotbah-kotbah seperti inilah yang kita saksikan di telesivi dan kita dengarkan di radio sekarang.

Akibat dari salah menafsir Alkitab adalah sesat. Memahami kebenaran Alkitab secara menyeluruh adalah salah satu kunci menafsir Alkitab dengan benar, dan yang dapat memahami kebenaran Alkitab secara menyeluruh adalah manusia rohani, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 2: 13, “Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh,…” menafsir Alkitab harus didasarkan pada pada ayat-ayat yang saling berhubungan dan saling memperjelas makna dari setiap ayat. (Lihat buku saku tulisan saya yang berjudul Engkau harus dilahirkan kembali dari Air dan Roh). Karena asal-asalan menafsir Alkitab banyak orang Kristen giat beribadah pada Allah tanpa pengertian yang benar seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 10: 2 ”…mereka sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.” Inilah yang sangat dikecam Tuhan Yesus, seperti yang dikatakanNya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” Matius 15: 8-9. Inilah yang dilakukan oleh mereka yang merayakan perayaan Natal 25 Desember, karena mereka beribadah pada Tuhan, tetapi ajaran mereka adalah perintah manusia, percuma Ibadah mereka. Mereka yang menjalankan perayaan Natal  25 Desember disebabkan oleh salah tafsir Alkitab, dan kekurangan pahaman cara menafsir Alkitab dengan benar.

Lukas 16: 16 berbunyi, “ Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes,…” ayat sudah menjadi bukti kuat dari kesalah-tafsiran kelompok Advent, tetapi bukan hanya kelompok Advent beberapa dari kelompok kristen pun juga ikut salah tafsir. Lukas 16: 16 memberi penjelasan pada kita bahwa, pada waktu tampilnya Yohanes pembaptisan terjadi peralihan sistem penyembahan, dari penyembahan secara lahiriah kepada penyembahan batiniah. Sistem penyembahan secara lahiriah menekankan penyembahan secara simbolik, karena memang pada masa tersebut juruselamat disimbolkan dengan binatang domba yang tidak bercacat, dan Hukum Taurat bersifat material yang harus dipatuhi secara lahiriah, penyembahan secara lahiriah atau simbolik ini berakhir pada saat Yohanes permbaptis menyatakan bahwa, Yesus Kristus adalah wujud sesungguhnya dari domba simbolik , “ Pada keeesokkan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” Yohanes 1: 29, dan penyataan Tuhan Yesus kepada perempuan Samaria memperjelas akhir dari sistem penyembahan simbolik, “….Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan kebenaran, Yohanes 4: 24” Sejak masa inilah manusia diwajibkan untuk melepaskan segala penyembahan secara simbolik termasuk hari raya-hari raya yang terikat dengan waktu (tanggal, bulan), tempat, dan cara yang menyimbolkan ketaatan pada Tuhan, dan beralih kepada penyembahan secara hakekat, dalam Roh dan kebenaran tanpa terikat oleh ikatan lahiriah seperti waktu, tempat dan cara. Mereka yang menetapkan hari perayaan Natal pada  25 Desember masih terikat oleh ikatan ibadah lahiriah, karena masih terikat oleh waktu, cara, dan tempat. Pernyataan tertulis Rasul Paulus kepada jemaat Kolose ini sangat berguna bagi Anda yang masih merayakan perayaan Natal pada bulan Juni-juli atau 25 Desember, “Karena itu jangalah kamu membiarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari sabat: semuanya ini hanyalah bayangan apa yang harus datang, sedangkan wujudnya ialah Kristus” Kolose 2: 16-17. Akhir kata, Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. 1 Tesalonika 5: 21

SAKRAMEN GEREJA BUKAN KETETAPAN ALKITAB


Istilah sakramen tidak terdapat dalam Alkitab, istilah sakramen berasal dari bahasa Latin Sacramentum yang dipakai untuk menterjemahkan istilah Yunani mysterion yang artinya misteri. Istilah sacramentum diambil dari lingkungan militer (sumpah seorang tentara kepada komandannya) dan pengadilan (Jaminan uang orang yang berperkara kepada dewa dengan suatu perjanjian, apabila perkara tidak dimenangkan, maka uangnya menjadi milik kuil). Tertulianus (160-220 M) adalah bapak gereja yang mempopulerkan istilah sacramentum ke dalam dunia kekristenan, yang memiliki pengertian perjanjian Allah kepada gerejaNya, Allah mengikat diri dalam sakramen dan memberi jaminan melalui sakramen atau anuggerah Allah disalurkan pada manusia melalui sakramen.

Pemikiran Tertulianus mengenai sakramen dikembangkan dan diperjelas oleh muridnya Cyprianus (200-258 M), Cyprianus menetapkan bahwa Allah mengikat perjanjian keselamatan dalam gereja, di luar gereja tak ada keselamatan (extra nulla salus ekklesiam). Ikatan Allah yang membawa keselamatan dalam gereja adalah sakramen, dan para uskup adalah penopang dan perlindungan ajaran sesat. Kebenaran Alkitab digantikan dengan kuasa para uskup, sumber kebenaran bukan Alkitab melainkan ketetapan para uskup. Pemikiran dan ketetapan Cyprianus inilah yang membawa gereja tersesat dari ajaran Alkitab, Cyprianus telah mengantikan kebenaran obyektif (Alkitab) menjadi kebenaran subyektif (manusia) dalam kehidupan gereja kristen.
Pemikiran Cyprianus telah membawa gereja jauh dari cita-cita Tuhan Yesus Kristus, dan para Rasul. Puncak dari kesesatan pemikiran Cypranus dalam gereja ialah pada waktu gereja mengeluarkan dan memperjual belikan surat pengampunan dosa (indulgensia/ sakramen pengampunan dosa) untuk kepentingan dana pembangunan gereja Santo Petrus di Roma, orang-orang kristen yang sudah terikat dengan pemikiran bahwa gereja dapat membawa keselamatan melalui upacara sakramen membeli surat pengampunan dosa untuk mendapat pengampunan dosa dalam upacara sakramen pengampunan dosa.

SAKRAMEN GEREJA BERTENTANGAN DENGAN AJARAN ALKITAB

Sakramen merupakan bagian dari liturgi gereja yang dimaksud untuk penyelamatan dan penyucian, itulah sebabnya ada kata kudus dalam setiap sakramen (perjamuan kudus, baptisan kudus, pernikahan kudus). Pemikiran dan praktek ini sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab, Alkitab menekankan bahwa dalam masa ibadah batiniah ini (beribadah dalam roh dan kebenaran) tidak ada tata cara kebaktian yang digunakan sebagai syarat keselamatan karena Yesus Kristus telah mengenapi seluruh tata cara ibadah keselamatan dalam diriNya sendiri (Ibrani 9: 13-14, Ibrani 10: 14).
Kekudusan tidak didapatkan melalui sakramen, melainkan melalui darah dan tubuh Yesus Kristus,”…oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus” Ibrani 10: 19, “…Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” Ibrani 10: 10. Gereja bukanlah perantara antara Allah dan manusia, melainkan Yesus Kristuslah yang menjadi perantaran Allah dan manusia (Yohanes 14: 6), tidak ada praktek keimamatan manusia dalam gereja, karena Yesus Kristus telah menjadi imam besar sebagai kepala rumah Allah (Ibrani 10: 21, 1 Timotius 5: 22), setiap orang percaya mempertanggung jawabkan setiap perbuatan langsung kepada Yesus Kristus dan menjadi imam atas dirinya sendiri (1Petrus 2: 9).
Tata cara sakramen masih menempatkan manusia sebagai imam (Pemimpin gereja), sehingga proses penumpangan tangan oleh imam sebagai perantara Allah dan manusia dalam masa ibadah simbolik masih dipraktekkan dalam upacara sakramen, hal ini bertentangan dengan praktek ibadah batiniah sekarang yang diajarkan Alkitab, yang menempatkan setiap orang percaya sebagai imam, kita adalah imamat yang rajani (1 Petrus 2: 9) karena itulah ”Jangan engkau terburu-buru menumpangkan tangan atas seseorang dan janganlah engkau terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Jagalah kemurnian dirimu”1 Timotius 5: 22.

Gereja mula-mula tidak pernah mengadakan sakramen, bahkan tidak pernah mengenal istilah sakramen, hal ini dibuktikan dengan tidak pernah ditemukan istilah sakramen dalam Alkitab. Sakramen sebagai tata cara kebaktian yang memberi syarat keselamatan telah menyebab banyak orang kristen tidak pernah dilahirkan kembali, oleh karena mereka mengharapkan keselamatan melalui sakramen. Baptisan bayi atau baptisan orang yang tidak dilahirkan kembali, perjamuan kudus yang diikuti oleh orang-orang yang belum diselamatkan, merupakan bentuk dari penyimpangan iman Kristen yang disebabkan oleh praktek upacara sakramen buatan manusia (Kolose 2: 18-23)

Sakramen Gereja bukanlah ajaran Alkitab, tidak ada pernyataan di dalam Alkitab yang mengharuskan Gereja dan orang kristen melakukan sakramen. Alkitab hanya menetapkan dua perintah simbolik yang harus dilakukan orang percaya dalam gereja sekarang, yakni Baptisan orang percaya (Matius 28: 19-20) dan Perjamuan Tuhan (1 Korintus 10: 21, 1 Korintus 11: 20, 23-26), dua perintah simbolik ini hanya boleh dilakukan oleh orang percaya (Baptisan, Kisah Rasul 8: 36-38; Perjamuan Tuhan, Yohanes 6: 54-56). Dua perintah upacara simbolik, yang juga disebut Ordinansi (ordinance) gereja, bukanlah upacara yang membawa khasiat pengudusan sebagaimana sakramen, melainkan perintah yang hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah menerima pengudusan dari Yesus Kristus yakni, orang yang sudah dilahirkan kembali.

SIKAP ORANG KRISTEN LAHIR BARU MENYINGKAPI SAKRAMEN GEREJA

“Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan,” (Efesus 5: 17), ayat ini memberikan penekanan kepada orang percaya mengenai pentingnya untuk mengusahakan diri mengetahui pengetahuan iman yang benar, dengan pengetahuan iman yang benar orang percaya dapat melakukan kehendak Tuhan dengan benar, karena dapat membedakan apa yang baik dan berkenan kepada Allah (Roma 12: 2).
Tuhan sangat membenci manusia yang beribadah kepada pada Tuhan, tetapi ajaran yang diajarkan adalah perintah manusia, seperti yang dikatakan dalam Matius 15: 9, “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia,” mendengar dan memperhatikan lebih penting bagi Tuhan daripada korban persembahan (1 Samuel 15: 22, Pengkotbah 4: 17), itulah sebabnya Tuhan sangat menuntut penyembahan kepadaNya dengan pengertian yang benar, karena iman yang benar dimulai dengan pengertian, diikuti dengan perasaan dan diwujudkan dengan tindakan.

Iman tidak terlihat, namun perbuatan-perbuatan memperlihatkan iman kita. Ketaatan lebih penting dari korban persembahan, giat untuk Tuhan tanpa pengertian yang benar dihadapan Tuhan sia-sia (Matius 7: 21-23, Roma 10: 1-3), karena yang Tuhan inginkan ialah melakukan kehendak Tuhan dengan taat. Melakukan dan mendukung sakramen Gereja merupakan suatu tindakan yang melawan Tuhan, karena ajaran sakramen adalah perintah manusia (Matius 15: 9), yang walaupun nampaknya ibadah penuh hikmat namun tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi (Kolose 2: 23), Ibadah yang percuma bagi Allah (Matius 15: 8-9).

Sudah menjadi kewajiban orang kristen lahir baru dan pemimpin gereja yang lahir baru untuk menolak praktek sakramen dalam gereja, dan menetapkan ordinansi sebagai perintah yang harus dilakukan orang percaya dalam gereja. Karena upacara sakramen merupakan ketetapan manusia yang bertentangan dengan ajaran Alkitab, ikatan janji keselamatan melalui penebusan Yesus Kristus, bukan melalui sakramen gereja. Gereja hanya bertindak sebagai penopang ajaran Allah (1 Timotius 3: 15) dan tempat pemeliharan iman orang percaya (Matius 16: 18-19), bukan pengantara keselamatan manusia pada Allah. Setiap orang yang ingin diselamatkan, diselamatkan oleh imannya kepada Yesus Kristus sebagai juruselamat yang telah menanggung dosa-dosanya (Roma 10: 9-10).

MENYEMBAH DALAM ROH DAN KEBENARAN


Tembok pemisah denominasi Kristen ialah pengajaran, setiap denominasi memiliki ciri khas pengajaran yang menjadi identitas khusus. Namun banyak yang tidak menyadari bahwa Setanlah yang menjadi dalang utama dibalik perbedaan pengajaran, Setan memainkan peran dengan memasukkan rupa-rupa pengajaran oleh permainan palsu pengikutnya dalam kelicikan yang menyesatkan (Efesus 4: 14).
Senjata pamungkas untuk melawan dan membongkar kedok pengajaran Setan dalam kekristenan ialah Alkitab. Setan suka mengunakan firman Allah untuk menyesatkan namun tidak seutuhnya, karena pengunaan firman Allah oleh Setan selalu ditambahkan atau kurangi (kisah Hawa disesatkan, kisah Tuhan Yesus dicobai), dan selalu tidak sinkron antara satu ayat dengan ayat lainnya atau tidak sinkron antara satu ajaran dengan ajaran lainnya.
Tuhan Yesus Kristus berkata kepada para pengikutnya bahwa, “…Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5: 20 /TB), disini Tuhan menuntut penyembahan dengan cara yang benar, murka Tuhan akan berkuasa atas orang-orang yang menyembahNya dengan sembarangan dan asal-asalan, oleh karena itu marilah kita menyembah Tuhan dengan penyembahan yang benar.

I. Perbedaan Ibadah Simbolik dan Ibadah dalam Roh dan Kebenaran

Ibadah simbolik merupakan sistem tata ibadah yang terpusat pada penyembahan secara lahiriah, segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah simbolik menyimbolkan kekudusan Tuhan. Disebut ibadah simbolik karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penyembahan pada Tuhan bersifat simbol, mulai dari penetapan waktu ibadah, tempat ibadah dan tata cara ibadah menyimbolkan kekudusan Tuhan.
Pada masa ibadah simbolik, hari sabat ditetapkan sebagai harinya Tuhan barangsiapa yang tidak menghormati hari sabat harus dihukum mati karena sama artinya orang tersebut tidak menghormati Tuhan (Keluaran 35: 2-3). Para imam dan setiap orang yang mengikuti ibadah harus tahir secara lahiriah bahkan orang-orang yang memiliki penyakit kulit apapun tidak diperbolehkan untuk mengikuti ibadah, barangsiapa yang melanggar ketetapan Tuhan tersebut harus dilenyapkan karena telah mengotori kekudusan Tuhan (Imamat 22). Tuhan menetapkan juga kepada umatNya untuk menajiskan segala binatang dan makanan yang telah ditetapkan sebagai makanan yang haram (Imamat 11:1-47), barangsiapa yang makan dari daging binatang haram atau menyentuh bangkainya ditetapkan najis karena sama artinya orang tersebut mencemarkan dirinya dengan dosa, sebab setiap binatang yang haram menyimbolkan dosa. Dan Tuhan juga menetapkan kepada umatNya untuk mematuhi aturan-aturan lahiriah (Hukum Taurat) lainnya, karena aturan-aturan lahiriah tersebutlah yang menjadi penjaga kekudusan umatNya.
Jika ibadah simbolik penyembahan terpusat secara lahiria maka ibadah dalam Roh dan kebenaran penyembahan terpusat pada hati. Disebut ibadah dalam Roh dan kebenaran karena pada masa ini Tuhan menuntun hati setiap orang percaya dengan pimpinan Roh kudus dan dengan kebenaranNya (Yohanes 4: 23, Roma 8: 10), penyembahan pada masa ini tidak ditentukan oleh waktu, tempat dan tata cara melainkan ditentukan oleh hati manusia.
Dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran segala sesuatu yang bersifat lahiriah tidak lagi dipakai menyimbolkan kekudusan Tuhan, bila pada masa Ibadah simbolik Tuhan menetapkan satu hari sebagai hariNya Tuhan, maka pada masa ibadah dalam Roh dan kebenaran semua hari adalah sama dalam pandangan Tuhan (Roma 14; 5-6), hari sabat tidak lagi menjadi hari yang kudus (Kolose 2:16-17). Demikian juga tidak ada makanan yang diharamkan dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran, semua makanan halal bila diterima dengan doa dan ucapan syukur (1Timotius 4:3-5, Matius 15: 11). Penyembahan ibadah dalam Roh dan kebenaran tidak terikat oleh waktu, tempat dan tata cara, setiap orang yang telah percaya atau telah memiliki Roh Kudus dalam hatinya (Efesus 1: 13) dapat menyembah Tuhan kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun yang penting hatinya sudah sungguh-sungguh mengalami kelahiran kembali (Yohanes 3:3,5), gedung gereja bukanlah bait Allah melainkan tubuh setiap orang percayalah yang merupakan bait Allah (1Korintus 3:16-17). Bila pada masa ibadah simbolik Tuhan menetapkan aturan-aturan lahiriah sebagai penjaga umatNya maka dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran Tuhan Roh Kudus yang menuntun hati manusia untuk menjauhkan diri dari dosa (Efesus 1:13-14).
Jadi Tuhan menuntut umatNya untuk mengenal dan menjauhi laranganNya pada setiap masa yang ditetapkanNya dengan cara yang berbeda. Apa yang sudah diperbaruhi Tuhan harus diikuti dan dengan tekun dilakukan, barangsiapa tidak mengikuti dan melakukan perintah Tuhan orang tersebut berdosa (1Yohanes 3: 4). Demikian juga hal-hal lama yang sudah tidak ditetapkan Tuhan sebagai cara menyembahNya namun masih dipertahankan dan gunakan sedangkan Tuhan sudah memperbaharuinya maka orang yang melakukan hal demikian berdosa dan tempatnya di dalam Neraka yang paling gelap.

II. Akhir masa Ibadah Simbolik dan Awal masa Ibadah dalam Roh dan Kebenaran

Ibadah simbolik dimulai pada saat manusia jatuh ke dalam dosa, saat Tuhan Allah mengambil kulit binatang untuk dikenakan pada tubuh manusia yang sadar telajang akibat dosa (Kejadian 3: 22-23). Binatang yang dikorbankan (domba) untuk menutupi ketelajangan manusia adalah simbol dari juruselamat yang dijanjikan Allah pada manusia (Kejadian 3:15), sejak saat itulah ibadah simbolik dimulai. Tuhan menetapkan pada manusia yang berdosa, bila ingin selamat harus mempersembahkan domba dengan mengimani bahwa domba tersebut ialah simbol dari juruselamat yang akan datang menanggung dosa-dosanya, itulah sebabnya persembahan Kain dalam bentuk tanaman ditolak Tuhan dan persembahan domba Habel diterima Tuhan (Ibrani 11:4).
Ibadah simbolik yang ditetapkan Tuhan diikuti dengan aturan-aturan lahiriah yang menyimbolkan kekudusan Tuhan dan juruselamat yang akan datang, secara simbolik Tuhan menetapkan ayah sebagai imam yang menjadi wakil Tuhan, yang berkuasa memberkati dan mengutuk diantara umat manusia. Keimamatan ayah secara simbolik diakhiri Tuhan pada saat para ayah yang bertindak sebagai imam tidak mematuhi aturan Tuhan (mengantikan korban persembahan dengan binatang lain seperti babi atau sama sekali tidak melakukan ibadah domba korban). Tuhan memilih Abram seorang ayah yang setia dan tetap memelihara ketetapanNya dan menganti namanya dengan Abraham karena daripadanyalah akan terbentuk sebuah bangsa pilihan Tuhan yang akan memelihara ibadah simbolik lahiria sampai kedatangan yang disimbolkan. Dari bangsa Israel yang dibentuk Tuhan, Tuhan mengangkat orang-orang Lewi dari keluarga Harun sebagai imam, yang memelihara ibadah simbolik lahiria dan yang berkuasa mengutuk dan memberkati umat manusia dengan kuasa Tuhan Allah (Elohim YHWH).
Ibadah simbolik dan tata cara ibadah lahiria berakhir sampai pada zaman tampilnya Yohanes Pembaptis (Lukas 16: 16), sebab pada masa itulah korban penebusan dosa yang sesungguhnya datang, Dia adalah anak domba Allah yang tak bercacat, Yesus Kristus juruselamat manusia (Yohanes 1: 29). Sejak masa Yohanes Pembaptis tampil itulah segala macam tatacara ibadah lahiria diakhiri dan digantikan dengan penyembahan dalam Roh dan kebenaran (Yohanes 4: 20-24).
Keimamatan suku Lewi dari keluarga Harun pun pada masa ibadah dalam Roh dan Kebenaran diganti dengan keimamatan setiap orang percaya (1 Petrus 2:9), bangsa Israel yang menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran umat manusiapun diganti dengan jemaat lokal (1 Timotius 3: 15). Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tatacara kekudusan ibadah lahiria pun sudah berakhir, digantikan dengan Roh Kudus dan kebenaran. Orang-orang yang masih melakukan dan memelihara ibadah lahiria pada masa ibadah dalam Roh dan Kebenaran adalah orang-orang yang melanggar ketetapan Tuhan atau berdosa, penyembah yang demikian adalah kekejian bagi Tuhan (Matius 15: 8-9, Kolose 2: 16-23).
Dan kita sekarang hidup dalam masa ibadah dalam Roh dan Kebenaran, tidak dibenarkan Tuhan apabila sekarang kita masih bersikukuh memelihara simbol-simbol dan tatacara ibadah lahiria seperti kelompok Advent, dan kelompok-kelompok Kristen yang memelihara tradisi tanpa memperhatikan kebenaran horisontal dan vertikal dalam Alkitab. Oleh karena itu, ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik (1 Tesakonika 5: 21) sebab itu adalah pelayananmu yang logis (logiken latreian/ bahasa Yuhani{kata Ibadah yang sejati lebih tepat diterjemahkan pelayananmu yang logis}) Roma 12:1.

III. Tata Cara Ibadah dalam Roh dan Kebenaran

Dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran segala sesuatu yang berhubungan dengan penyembahan pada Tuhan tidak diukur secara lahiria. Apabila pada masa ibadah simbolik kekudusan lahiria merupakan syarat mutlak menyembah Tuhan, maka pada masa ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang kekudusan hati merupakan syarat mutlak untuk menyembah Tuhan.
Kekudusan hati diperoleh dengan kelahiran baru (silahkan membaca tulisan saya Engkau Harus Dilahirkan dari Air dan Roh). Hanya orang-orang lahir baru yang diperkenankan menyembah Tuhan, karena hati orang lahir baru telah dikuduskan oleh Yesus Kristus (Ibrani 10: 10), dan orang lahir baru menilai segala sesuatu dengan nilai rohani, bukan dengan kedagingan sebab hidup orang lahir baru dipimpin Roh Kudus dan kebenaran Tuhan (Alkitab).
Orang lahir baru memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dalam persekutuan rohani, nilai-nilai rohani yang ada dalam dirinya selalu mendorong untuk berpikir dan bekerja terfokus pada perkara rohani, itulah sebabnya Tuhan membentuk jemaat sebagai tempat berkumpul orang-orang lahir baru untuk membentuk kehidupan dan melakukan pekerjaan rohani dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang.
Tidak ada hari yang khusus untuk berjemaat atau datang ke gereja, bahkan jemaat mula-mula melakukan kegiatan berjemaat tiap hari (Kisah Para Rasul 2: 46). Hari minggu dipilih orang Kristen untuk berjemaat saat ini, karena berhubungan dengan tradisi gereja abad mula-mula dan juga karena hari libur (Kisah Para Rasul 20: 7, 1 Korintus 16: 2), bukan karena hari minggu adalah hari yang kudus.
Kegiatan berkumpul orang-orang lahir baru disebut berjemaat bukan beribadah, karena dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang, dalam diri setiap orang percaya ada Roh kudus. Tujuan orang beribadah ialah mengundang kehadiran Tuhan datang ke altar kudus, sekarang Tuhan bersemayam dalam hati setiap orang percaya dan tidak perlu lagi membentuk altar kudus untuk mengundang kehadiran Tuhan karena Tuhan sudah hadir dalam hati pada saat kita percaya padaNya. Oleh sebab itulah kita berkumpul setiap hari minggu bukan dengan tujuan beribadah melainkan berjemaat, karena sekarang kapanpun, dimanapun dalam kondisi apapun setiap orang lahir baru harus beribadah, karena persembahan ibadah yang sejati adalah seluruh hidup orang percaya.
Di dalam berjemaat tidak ada lagi upacara liturgi, karena liturgi merupakan tatacara ibadah yang menyelamatkan (Yunani Leiturgia). Upacara liturgi seperti penumpangan tangan oleh imam, pengakuan dosa dan korban bakaran tidak dibenarkan dipraketkan dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang. Paulus menasehatkan Timotius untuk tidak sembarangan menumpang tangan kepada orang lain(1 Timotius 5: 22), karena Timotius bukanlah imam untuk orang lain, Timotius menjadi imam untuk diri sendiri dan setiap orang percaya pun demikian menjadi imam atas dirinya sendiri (Ibrani 9: 11-14, 1 Petrus 2; 9), sebab itulah perbuatan melawan Tuhan bila melakukan praktek keimamatan dalam ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang atau melakukan praktek keimamatan dalam gereja, seperti menumpang tangan dan melakukan pemberkatan.
Kelompok besar gereja melakukan praktek yang salah ini, melakukan proses liturgi dalam pertemuan jemaat dengan para pelayannya bertindak sebagai imam, ini merupakan bentuk kesesatan dalam masa ibadah dalam Roh dan kebenaran sekarang, dan praktek-praktek yang demikian sangat menyakitkan hati Tuhan (Kolose 2: 16-23), kekejian bagi yang melakukan dan yang turut mendukung praktek demikian. Bertobatlah dan kembali pada ajaran Tuhan yang sesungguhnya, dengan menjunjung tinggi Alkitab sebagai firman Allah yang absolut, serta mempelajari dan melakukan yang diajarkan ajaran Alkitab sampai kedatangan Tuhan. MARANATHA!

MUSIK SORGAWI

Menyanyi dengan musik Sorgawi merupakan kewajiban dan tanggung jawab setiap orang yang telah dibenarkan melalui penebusan Yesus Kristus, karena kewarganegaraannya adalah kewarganegaraan sorgawi (Filipi 3: 20). Nyanyian rohani dengan musik Sorgawi memberikan nilai-nilai inspirasi Sorgawi dalam hidup orang benar, nilai-nilai inspirasi nyayian dengan musik Surgawi memotivasi kehidupan orang benar untuk menyatakan kehidupan Sorgawi di dunia (Yakobus 2: 22).
Musik bersumber dari Sorga, digunakan untuk memuji dan memuliakan Allah sepanjang waktu. Pujian dan kemulian pada Allah sangat menyenangkan hatiNya, oleh sebab itu Allah sangat mengasihi Lucifer, malaikat pemimpin pujian (Yehezkiel 28: 13-14). Lucifer membalas kasih Allah padanya dengan pemberontakkan, Lucifer melakukan kecurangan, ia ingin mencuri kemuliaan dari semua ciptaan Allah dan ingin menempatkan diri sebagai penganti Allah, karena perbuatan keji tersebut Allah mengusir Lucifer dari Sorga, dan menyebutkan dengan sebutan Setan, serta Iblis bagi para pengikutnya.
Setan menguasai tubuh daging manusia karena keberhasilannya menipu manusia untuk memberontak pada Allah, kuasa Setan terhadap tubuh daging manusia digunakannya untuk mendorong manusia melawan Allah dengan berbagai cara, salah satu cara ialah dengan musik, dengan musik Setan mengajak manusia mengujat Allah dengan ibadah buatan pengikutnya (Kolose 2: 18). Musik yang memiliki nilai Sorgawi telah dirusak Setan dan pengikutnya menjadi duniawi dan penuh dengan kecemaran perbuatan kedagingan (Galatia 5: 19-21).

I. Perbedaan Musik Sorgawi dan Musik Duniawi

Musik Sorgawi mencerminkan nilai rohani dalam style-nya, penuh dengan buah Roh (Galatia 5: 22-23). Musik Sorgawi mendorong manusia untuk memuliakan Allah, karena itulah sifat kekudusan, keteraturan dan kasih Allah ada dalam alunan musik Sorgawi, Sehingga pesan yang mempengaruhi emosi manusia berisikan nilai-nilai Sorgawi. Musik Sorgawi yang mempengaruhi empat gelombang otak manusia (alpha, beta, theta dan delta) akan membuat kondisi orang yang menyanyikan dan mendengarkannya memiliki kedamaian, ketenangan, penuh kasih dan secara tidak langsung dapat meninggalkan sifat-sifat kedagingan yang duniawi.
Sedangkan Musik duniawi mencerminkan nilai-nilai keduniawian yang penuh dengan kedagingan dalam style-nya (Galatia 5: 19-21), iramanya membuat otak stress yang menghasilkan perasaan fly akibat kinerja hormon opiods (sejenis hormon tubuh yang berfunsi seperti morfin). Musik duniawi memuaskan ego manusia bukan untuk memuliakan Allah dan di dalam iramanya tercermin keegoisan manusia, serta pemberontakan terhadap Allah. Nilai-nilai sensualitas dan entertainment dieksposkan dalam musik duniawi, sehingga menghasilkan kepuasan dan kebanggaan diri bukan kemulian dan keagungan pada Allah, dan pastinya akan membangkitkan sifat-sifat kedagingan yang duniawi
Tuhan mengingatkan dan berharap supaya orang-orang percaya menjauhi segala sesuatu yang bersifat duniawi, sebab segala sesuatu yang bersifat duniawi merupakan musuh Allah (1 Yohanes 2: 15-17, Yakobus 4: 4). Seharusnya setiap orang percaya tidak memiliki kesenangan untuk mendengar dan menyanyikan musik duniawi dalam kehidupan sehari-hari, apalagi mengadopsi style musik duniawi dalam gereja. Gereja yang mengadopsi style musik duniawi telah mematikan kehidupan rohani dan menumbuhkan kehidupan keduniawian dalam lingkungan rohani, gereja yang demikian pasti akan menilai keberhasilan dalam setiap bentuk pelayanan dari nilai kedagingan.

II. Bentuk Musik Sorgawi

Tidak ada kebudayaan yang netral demikianpula dengan musik, tidak ada musik yang netral. Style musik mengandung nilai moral didalamnya, sebab itu bentuk musik yang didengar seseorang akan memberi pengaruh moral dalam kehidupannya. Memberikan teks firman Tuhan atau kata-kata rohani dalam style musik duniawi tidak dapat merubah pengaruh nilai moral kedagingan oleh yang mendengar dan menyanyikannya.
Struktur musik Sorgawi menolong seseorang untuk menata pikiran dan jiwanya, struktur yang memberikan rangsang ke otak melalui getaran-getaran yang komplek yang diterima telinga dan organ-organ tubuh yang lain. Musik Sorgawi memiliki tatanan komposisi yang cemerlang strukturnya yang lahir dari keteraturan struktur musik dan dengan style musik inilah Tuhan Yesus pernah bernyayi (Matius 26: 30).
Hanya style musik hymne yang memiliki kecemerlangan struktur yang lahir dari keteraturan musik, memiliki frase yang simetris dan balance, memiliki keteraturan harmoni yang membentuk simetris yang sempurna antara tiap frase pada gerakan melodinya, sehingga menghasilkan ritme yang indah. Struktur musik yang demikian dapat membantu seseorang untuk melepaskan segala ikatan keduniawian yang penuh kedagingan.
Komposisi musik Alkitabiah memiliki tiga prinsip; memiliki proporsi yang benar, keutuhan sebuah karya, dan kejernian atau kecemerlang sebuah karya (proporsi, integritas, dan claritas), dan ketiga prinsip ini hanya dimiliki oleh style musik-musik hymne. Oleh sebab itu, Alkitab menekankan pada orang-orang percaya untuk menyanyikan nyanyian rohani dengan style hymne (Efesus 5: 18-19) dalam keseharian dan terutama dalam berjemaat.
Keteraturan struktur komposisi yang lahir dari kecemelangan struktur musik tidak dimiliki oleh Contemporary Christian Music (CCM) yang hanya mentrasformasikan teks firman Tuhan atau kata-kata rohani ke dalam berbagai jenis style musik tanpa mempertimbangan nilai moral yang terkadung dalam style musik tersebut. Nilai sebuah karya musik rohani bukan hanya terdapat pada syairnya saja namun juga style musik, yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan rohani seseorang. Hanya musik hymne-lah yang memenuhi standar nilai rohani, baik dalam kadungan style musik maupun syairnya, oleh sebab itulah Tuhan Yesus bernyanyi dengan style hymne (Matius 26: 30), dan Rasul Paulus memerintah setiap jemaat bernyanyi dengan style musik hymne(Efesus 5: 18-19).

III. Jemaat Yang Kudus Bernyanyi Dengan Musik Sorgawi

Jemaat atau gereja adalah tubuh Tuhan, tubuh Tuhan harus kudus (lihat tulisan saya Prinsip-Prinsip Dasar Gereja Yang Alkitabiah). Kekudusan sebuah jemaat tidak ditentukan oleh jumlah orang, banyaknya dana yang dimiliki atau fasilitas, melainkan ditentukan oleh pengajaran dan praktek yang kudus. Kudus berarti bagian yang dipisahkan atau dibersihkan, jemaat yang kudus adalah jemaat yang dipisahkan dari filosofi duniawi dan pengaruh dunia dengan segala keinginan (1 Yohanes 3: 17).
Contemporary Christian Music (CCM) telah metransformasi gereja menjadi lingkungan atau pelayanan duniawi bukan lagi menjadi lingkungan atau pelayanan rohani sebagaimana yang dicita-citakan Tuhan (1 Timotius 3: 15). Pengaruh Contemporary Christian Music (CCM) telah merubah standar-standar moral kehidupan orang kristen sesungguhnya menjadi duniawi dan kedagingan. Oleh karena itu, jemaat yang kudus pasti menolak mengunakan Contemporary Christian Music (CCM) dan tetap memilihara musik-musik Alkitabiah dengan iman dan pengertian yang benar (Roma 12: 1-2).
Bernyayi dengan musik Sorgawi dalam berjemaat berarti menyatakan kemuliaan jemaat tersebut dihadapan malaikat yang hadir dan menjadi tubuh yang benar-benar kudus dihadapan Allah (1 Petrus 1: 16), inilah yang menjadi nilai utama sebuah jemaat dihadapan Allah. Oleh sebab itu, marilah kita terus bernyayi dengan musik-musik hymne di jemaat GBA HARVEST sampai Tuhan datang kembali menjemput kita semua. MARANATHA!

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑